April 2008,
On the start line...
Pagi itu, jalanan masih sepi, dinginnya udara pagi masih terasa menusuk tulang. Saya, Dewi, dan Lely duduk-duduk di teras rumah Dewi sambil menunggu angkutan antarkota yang akan membawa kami ke suatu kota disana. Akhirnya, hari ini jadi juga pergi kesana, setelah kemarin malam Dewi yang sebenarnya masih dalam keadaan sakit rela begadang sampai jam 2 malam untuk menyelesaikan cerpennya, menyusul cerpen saya yang sudah dikirim ke salah satu universitas di suatu kota disana untuk diikutsertakan dalam lomba, sementara besok akan diadakan acara seminar kepenulisan bagi para peserta. Kami memutuskan untuk pergi kesana, berhubung pada saat itu kami sedang libur karena anak-anak kelas 3 sedang melaksanakan try out. Lely yang saat itu sedang tidak ada agenda libur kemana-mana pun memutuskan untuk bergabung.
Disela waktu kami menunggu mobil jemputan, Lely sempat bertanya. “Eh, nanti kita didalam mobil tu cuma bertiga atau sama penumpang lain?” kontan saja saya dan Dewi tertawa terbahak-bahak. “Yaiyalah sama penumpang lain Lel, emangnya itu mobil mbah kita” jawab saya. Maklum, Lely memang terbiasa bepergian jauh bersama semua anggota keluarganya dengan mobil pribadi. Sedangkan Saya dan Dewi bisa dibilang jarang dan sudah lama tidak kesana, kalaupun pergi kesana, pasti bersama keluarga, rombongan, atau yang jelas dengan orang yang lebih tua. Sementara bepergian sebagai tiga remaja dengan jalur sendiri ini adalah ajang nekat bagi kami, apalagi kami masih belum hafal dan tau banyak tentang daerah yang kami tuju. Berani gak berani, jalanin aja...!
Mobil yang kami tunggu pun datang. Jarak kurang lebih 200 km kami lalui dengan berbagi cerita dan tidur di dalam mobil. Perjalanan kami tempuh selama kurang lebih 5 jam. Sekitar pukul 12 siang, entah kenapa mata saya yang pada mulanya terpejam tiba-tiba melihat tulisan besar bertuliskan nama sebuah universitas besar di tepi jalan. Hah ??? sudah sampai sini? Menurut info, tempat yang kami tuju tidak jauh dari sini. Saya pun membangunkan Dewi Lely dan memberitahu supir bahwa kami akan berhenti di Asrama Tabalong, yang kami sendiri sebenarnya tidak tau dimana tempatnya. Dan sialnya, ternyata tempat itu sudah terlewati beberapa ratus meter. Beruntung driver yang mengantar kami baik hati dan bersedia putar arah untuk mengantar kami di tempat tujuan, yaah walaupun mungkin beberapa penumpang jengkel karena kami sedikit menghambat perjalanan mereka. Pyuuhh hampir saja kami terbawa ke kota yang lebih jauh.
Dunia memang sempit...
Sesampainya disuatu tempat yang kami yakini adalah asrama tabalong, tempat untuk kami menginap beberapa malam, kamipun mencari seseorang yang bernama Rina, kaka kelas 3 tahun diatas kami yang diinformasikan oleh guru saya. Kebetulan ka Rina saat itu sedang keluar, jadilah kami disuruh menunggu. Dalam penantian dengan perut yang keroncongan, kamipun memutuskan untuk meninggalkan backpack di asrama dan mencari makan di warung-warung pinggir jalan yang ada di depan sana. Akhirnya lalapan dan ikan goreng jadi menu yang cukup untuk menghentikan demo cacing-cacing kelaparan diperut kami siang itu. Saat akan kembali ke asrama, tiba-tiba dijalan raya kami melihat Zacky teman SMA kami sedang mengendarai motornya, entah akan kemana dia. Kami berpikir sejenak, di jalanan yang cukup jauh dari kampung halaman ternyata kami bisa bertemu dengan seorang kawan secara tidak sengaja, dijalan raya pula. Kami tertawa takjub, ya, dunia memang sempit !
Setibanya di asrama, ka Rina ternyata sudah menunggu kami. Setelah berkenalan dan berbincang-bincang, ia pun mengantar kami ke kamar, di lantai 2. Ukuran kamarnya tidak terlalu besar, tapi cukuplah untuk menampung tidur kami bertiga selama 2 atau 3 malam kedepan.
Malam yang aneh...
Malam harinya, kami memutuskan untuk pergi ke salah satu pusat perbelanjaan yang tidak terlalu jauh dari asrama, yang bisa kami tempuh hanya dengan jalan kaki, ya sekalian menikmati suasana malam hari dikota orang. Namun sebelum sampai disana kami memutuskan untuk makan malam di sebuah warung dipinggir jalan. Saya dan Lely pada waktu itu memesan nasi goreng, sedangkan Dewi memesan nasi dengan ayam goreng. Dan alangkah terkejutnya Dewi ketika giliran dia membayar, ternyata harga satu porsi ayam gorengnya Rp. 16 ribu, dua kali lipat dari harga nasi goreng yang saya makan. Jadilah Dewi kesal sekali pada waktu itu, tidak menyangka bahwa harga ayam gorengnya akan semahal itu. Saya dan Lely tertawa terpingkal-pingkal sambil sesekali menggodanya, “makanya gak usah makan ayam goreng, makan nasi goreng ajalah kaya kita-kita..”
Setibanya dipusat perbelanjaan, kami langsung naik ke lantai 2 menuju toko buku dan pernak-pernik. Seorang laki-laki muda penjaga toko terlihat sangat ketat mengawasi kami, mengikuti kami perlahan-lahan saat kami memilih-milih barang ditoko tersebut. Tadinya saya mengira bahwa itu hanya perasaan saya saja, tapi ternyata Dewi dan Lely merasakan hal yang sama bahwa ada yang tidak beres dengan tatapan orang itu, matanya seakan menatap kami curiga. Tapi sudahlah, kami cuek saja. Setelah membeli beberapa barang, kami bertiga pun keluar dari toko. Sesampainya didepan toko, sebuah mobil-mobilan yang dikendalikan dengan remote control menabrak kaki kami, kami terkejut dan mencoba mencari-cari orang yang mengendalikan mobil mainan ini, ternyata, sang pemegang kendali tidak lain adalah penjaga toko yang sejak tadi mengawasi kami, entah apa maksudnya. Ada yang aneh dengan kita ? Emang kita tampang mafia ya ? atau mungkin dikiranya kita ini rampok cantik yang akan mengeluarkan pistol dan main dar dor dar dor kaya di film2 action ? Atau jangan-jangan malah kita disangka gembel ? gak segitunya deh... Pada saat itu kalau dipikir-pikir penampilan kami memang biasa-biasa saja, pake celana jeans (yah dianggapnya belel mungkin), kaos biasa, pake jaket, sendal juga emang gak bagus-bagus amat, lha terus maksudnya nabrak kaki kita apaan coba??? Tau ah gelap...
Karena khawatir pintu asrama akan ditutup jika bepergian melebihi batas waktu yang ditentukan, kamipun memutuskan untuk pulang setelah cukup puas berputar-putar dipusat perbelanjaan. Perjalanan ke asrama akan memakan waktu lumayan lama karena kami pulang hanya dengan berjalan kaki. Perlahan kami mulai menyusuri trotoar jalan raya yang tadi kami lewati. Sok paling mantap dengan arah jalan, sayapun ambil posisi paling depan, sementara Dewi dan Lely mngikuti dibelakang. Hingga kami melintasi bundaran pusat kota, tiba-tiba mata saya perlahan tapi pasti melihat sesosok lelaki tua dengan baju compang-camping berjalan berlawanan arah kearah kami. Pada saat itu saya sempat merasa takut dan ragu untuk meneruskan langkah atau tidak, tapi akhirnya kaki saya tetap melangkah kedepan karena saya meyakini bahwa orang itu adalah orang biasa, untuk apa ditakuti. Semakin lama jarak kami semakin dekat. Ketika saya berada tepat didepannya, laki-laki itu menghentikan langkah, lalu tertawa sambil menatap kami dan memperlihatkan seringai senyumnya yang malam itu bagi saya adalah senyum yang sangat mengerikan. Hingga tak dapat dihindari, Aaaaaaa........ sayapun berteriak ketakutan dan sesegera mungkin berlari kencang menjauh dari orang itu, teriakan saya ternyata disusul oleh teriakan Dewi dan Lely dibelakang yang juga segera ambil langkah seribu, kami berlari kencang dipinggir jalan dan berhenti pada tempat yang dirasa cukup aman. Beruntung orang itu tidak mengikuti kami. Sudah, cukuplah untuk orang-orang aneh yang kami jumpai malam ini!
Enjoy your day girls...
Esok paginya, kami bersiap menghadiri Seminar kepenulisan di fakultas kedokteran yang mengadakan lomba cerpen yang kami ikuti. Didepan kamar, kami berdiri dengan memakai seragam putih abu-abu yang pada waktu itu belum genap 1 tahun resmi jadi seragam kebanggaan kami. Namun tiba-tiba Dewi nyeletuk, “Eh, yang bener aja masa kita kesananya pake kostum seragam sekolah kaya gini.”
“Tapi panitianya kemarin bilang sebaiknya emang pake baju sekolah Wi” jawab saya.
“Tapi kan ini hari minggu, kebayang gak sih kalo kita jalan dipinggir jalan pake seragam sekolah hari libur kaya gini.” Jawabnya lagi. Dalam hati saya membayangkannya, lucu, lalu mengiyakan Dewi, benar juga.
“Udahlah kita pake baju bebas pantas aja, paling panitianya kemarin salah info.” Kata Dewi lagi. Akhirnya kami memutuskan pergi kesana dengan hanya memakai baju bebas. Sesampai disana, ternyata tidak ada seorang pesertapun yang memakai seragam sekolah, pyuuuh.... untunglah tadi kami sempat mengganti kostum sebelum berangkat, kalau tidak, bisa jadi semua mata akan tertuju pada kami saat ini.
Menghadiri seminar kepenulisan, setidaknya itu adalah alasan utama yang kami nyatakan pada orangtua disamping keinginan kami kesini untuk jalan-jalan dan refreshing tentunya. Lumayan banyak yang meghadiri seminar, ada peserta yang berasal dari anak SMA seperti kami, namun ada juga yang berasal dari masyarakat umum. Pembicaranya pada waktu itu adalah kak Fauzan Muttaqien yang akrab disapa ka Ozan, calon dokter sekaligus penulis yang sudah berhasil menerbitkan novelnya. Materi yang disampaikannya pun luar biasa.
Siang harinya ketika acara sudah selesai, kami memutuskan untuk kembali ke asrama untuk istirahat sejenak, setelah ini kami berencana akan pergi ke museum Lambung Mangkurat, museum yang meyimpan berbagai jenis peninggalan kerajaan Banjar. Sebenarnya kami tidak tau persis dimana letaknya, tapi menurut mbak yang tinggal di asrama, museum tidak terlalu jauh dari fakultas kedokteran yang kami datangi tadi. Namun karena tadi sudah capek jalan kaki ke tempat seminar, kami putuskan nanti perginya naik angkot saja. Tiba-tiba gerimis perlahan turun, agak ragu juga, tetap pergi kesana atau tidak, tapi dasar memang gak betah berdiam diri dikamar, akhirnya kami memutuskan untuk tetap nekat melawan gerimis menuju pinggir jalan raya untuk mencari angkot.
Setibanya disana, kami langsung membeli karcis dan masuk kedalam museum untuk berkeliling-keliling. Museum ini terdiri dari beberapa bangunan yang didalamnya ada bermacam-macam jenis peninggalan dari kerajaan Banjar. Hari sudah sore, cukup lama juga kami memutari museum, namun hujan diluar pun semakin menjadi-jadi. Dingin-dingin begini, perut memang bawaannya lapar, sehingga kami putuskan untuk berlari sambil berhujan-hujan ria keluar komplek museum untuk mencari makan diluar sana. Soto banjarpun akhirnya jadi penghangat tubuh kami pada waktu itu.
Pulangnya kami putuskan untuk jalan kaki saja, sebenarnya lumayan juga capeknya kalau melewati jalan tadi dengan jalan kaki, tapi sudahlah, selain dalam rangka penghematan, cara ini bisa jadi alternatif untuk olahraga yang selama ini telah jarang kami lakoni. Sambil menyusuri tepi jalan kami bertiga membicarakan banyak hal, kadang-kadang kami tertawa tidak jelas sambil terus melangkah, ditemani gerimis yang masih turun disepanjang jalan. Sesekali kenek angkot menghampiri kami, tapi kami tetap teguh dan tidak tergoda, Jalan Terus seperti yang dinyanyikan Sheila On 7, band favorit saya dari zaman dulu hingga zaman sekarang.
Aku mendengarkanmu...
Malam hari, kami kecapekan dan memutuskan untuk tidak pergi kemana-mana. Kami duduk-duduk saja didepan kamar, teras lantai 2 asrama. Pada mulanya kami memulai cerita-cerita gila, ngakakk ngekekk gak jelas, entahlah, rasanya saat itu kami bebas sekali untuk mengekspresikan apa yang kami inginkan, termasuk akhirnya menceritakan hal hal yang bernada mellow, hhmmmm... akhirnya malam itu menjadi ajang curhat-curhatan, kami menceritakan banyak hal ditemani malam tak berbintang hingga larut malam.(uhuukk...uhuukk).
“Jadi besok kita gimana? Pulang atau gak?”
“Atau nerusin perjalanan ketempat yang lebih jauh lagi?”
Pertanyaan-pertanyaan itu jadi perbincangan kami kemudian. Namun karena adanya beberapa pertimbangan, termasuk diantaranya karena kami belum tahu banyak tentang daerah yang ingin kami tuju, serta semakin menipisnya lembaran-lembaran yang ada disaku celana, membuat kami memutuskan untuk pulang saja besok pagi. Mengenai kota selanjutnya akan kami datangi lain waktu. Keesokan paginya, setelah berpamitan dengan kaka-kaka asrama yang baik hati dan tidak sombong, yang sudah banyak membantu, kami pun pulaaaannnggg....
Bla...bla...bla...
Ini adalah sebuah perjalanan yang biasa saja mungkin, tapi tidak bagi saya. Perjalanan yang kami lewati adalah perjalanan dengan hari yang bebas, tanpa beban, dimana kaki ini mulai berani melangkah bebas mengikuti kemanapun arah angin berhembus. Ini adalah tiga tahun yang lalu, ketika kami menjadi gadis kelas 1 SMA. Ada keinginan untuk kembali mengulang perjalanan ini, atau mungkin membuat rute perjalanan baru dengan cara semacam ini. Kita masih memiliki perjalanan yang lebih panjang dengan lika likunya yang lebih menantang, kita akan merasakannya lagi suatu hari nanti...
_Jogja, 27 januari 2011_