“Kamu hanya
butuh waktu. Luka dibadan saja butuh waktu untuk sembuh.” Kata seorang sahabat
dalam perbincangan kami pada suatu malam. Saya terdiam sejenak. Kalimat itu menyeret
saya pada tahunan silam, saat saya yang masih berseragam putih abu-abu dengan
penuh kepastian meyakinkannya pada kalimat serupa. Tak lama kemudian sahabat
saya itu tertawa penuh kemenangan, disusul dengan gelak tawa konyol saya yang baru tersadar dengan siklus kalah dan menang yang sedang berputar.
Sial, batin saya.
“Butuh waktu
sekian tahun bagi saya untuk membalas kamu dengan kalimat itu. Akhirnya…” katanya
lagi. Kalimat yang pernah saya ucapkan itu sebenarnya tak hanya melintas di
sepanjang tahun yang kami lewati, saya yakin ia telah melintasi banyak jaman sebelumnya.
Para pujangga tak sembarang merumuskannya. Dibutuhkan peristiwa demi peristiwa,
saksi demi saksi, yang menguji keabsahannya
dari waktu ke waktu hingga kalimat ini menjadi sedemikian klasik dan sulit
dibantah walau jaman telah berganti.
Sahabat saya
mendengar kalimat itu saat barangkali saya belum benar-benar mengerti dengan
apa yang saya ucapkan. Beruntungnya telinga dan mata saya waktu itu telah cukup
awas untuk memperhatikan kalimat klasik itu hadir di televisi, di majalah, atau
entah darimana asalnya, saya lupa. Keawasan itu saya sejajarkan dengan logika
yang sangat amat sederhana, bahwa jika ada bagian tubuhmu yang terluka dan
membuatmu berdarah, diobati dengan obat merah sekalipun, tetap saja tidak
mungkin luka tersebut kering dan hilang
dalam sesaat. Dibutuhkan detik, menit, jam, bahkan hari demi hari untuk
menyembuhkannya.
Waktu menyembuhkan segala luka. Serahkan
saja pada waktu dan… Simsalabim abrakadabra… luka akan sembuh. Syaratnya barangkali
hanya satu, serahkan keyakinanmu bahwa ada banyak hal di dunia ini yang berada
diluar kendalimu. We can’t carry the
weight of the heavy world, right ? Itu berada di luar kendali kita, di luar
kuasa kita. Kadang kita lupa mengimaninya sehingga kita terus menyangkal,
menolak, dan bahkan memaksa. Padahal semua itu hanya akan membuat batin kita
lelah, dan frustasi bisa menjadi dampak selanjutnya. Saya menduga, bukan tidak
mungkin itu pula yang menjadi salah satu faktor yang membuat beberapa artis
ternama dunia memutuskan untuk bunuh diri setelah merasa bahwa dirinya tak lagi
tenar seperti dulu. Bisa jadi mereka terlalu percaya bahwa segala sesuatu yang
mereka dapatkan adalah karena mereka, tepatnya karena kekuatan yang berada di
dalam diri mereka sendiri, tanpa ada kekuatan magis lain yang mengendalikan.
Sehingga ketika tiba saatnya pesona mereka tak lagi mampu memikat dunia, mereka
terus memaksakan diri dengan berbagai cara. Jika tetap tak bisa, maka mungkin
setelah itu mereka akan mengutuk diri sendiri, frustasi karena tak bisa apa-apa
dan merasa tak berguna lagi hidup di dunia. Lupa tentang hal-hal yang
sebenarnya memang ada di luar kendali.
Remember that there are a lot of things in
this world are beyond of your ability, it’s not yours, it’s God’s. Bagi
saya itulah hakikat sebenarnya ketika waktu diatasnamakan sebagai penawar dari
sebuah luka. Ada kalanya kita harus menerima dan sadar bahwa kendali tak
selamanya berada di tangan kita. Waktu akan menjawab setepatnya. Jangkanya ? It’s not only depends on how much you can
trust it can be healed, but also depends on how good you can control your ego by accepting
what’s beyond your ability.
Tanjung, 28 Agustus 2014
0 komentar:
Posting Komentar