Laman


Rabu, 12 Maret 2014

Obat Masuk Angin pun Tak Sempat Bicara


Tiada yang mengerti, dan mungkin diapun tidak memahami, betapa tidak nyamannya matamu memandang kepingan-kepingan kendi kalian yang kini pecah berantakan, betapa sulitnya kamu memutuskan untuk tetap tinggal atau justru pergi. Kamu bukannya tidak sadar bahwa kendi kalian telah retak sebelumnya, sedikit ketidakhati-hatian akan membuatnya jatuh dan pecah menjadi berkeping-keping seperti saat ini. Entah perekat semacam apa lagi yang bisa menyatukannya.

Kamu dan dia diam sembari  membiarkan waktu bergulir, berharap kebisuan yang kalian cipta lambat laun bersedia menjadi perekat kepingan itu hingga utuh kembali. Waktu dan kebisuan mampu menjadi komposisi perekat kendi kalian, tidak sekarang tapi nanti, saat kalian sama-sama menyadari bahwa kalian butuh bersama dan bukannya berjalan sendiri sendiri, itu yang kamu pikir. Namun sayang, waktu dan kebisuan kalian hambar, tak ada unsur yang mampu menjadi semacam zat perekat dari keduanya.

Dia enggan bersuara dan tak mampu pula kamu berbicara, tidak pula obat masuk angin yang kamu selipkan di tasmu saat hari terakhir kalian berjumpa. Hari dimana dia gagal memahami inginmu untuk kesekian kalinya, hari dimana kamu gagal memahami inginnya untuk kesekian kalinya, paling gagal, paling fatal, itu bahasa yang sanggup kamu baca dari matanya.

Beberapa hari sebelum hari itu dia masuk angin, dibungkus angin disepanjang perjalanan sepulang beraktivitas membuat angin malam kerap kali menyerang tubuhnya.  Sebenarnya itu bukan hal yang baru baginya, juga bagimu yang telah terbiasa setiap malam menunggu ia pulang lalu mendengar sesekali ia bercerita tentang masuk anginnya, baik lewat telpon atau rangkaian huruf yang tertera dilayar kaca. Ya, karena kalian memang masih harus berada di dua tempat yang berbeda. Sekalipun tempat menunggumu bukanlah tempat ia pulang, bagimu dan baginya ketidakrasionalan cinta mampu menghapus dimensi jarak hingga seolah tak ada.

Malam itu ia kembali bercerita bahwa masuk angin keparat itu kembali menyerang tubuhnya, tak ada yang mampu kamu lakukan selain memastikan bahwa stok obat masuk angin yang beberapa waktu lalu  kamu beli untuknya itu masih ada disana. Cinta juga ternyata rasional, jarak tetaplah jarak, dua manusia yang berada di tempat  terpisah tidaklah mampu berhadap-hadapan untuk saling menolong secara langsung satu sama lain karenanya.

“Hadeeehh.. kamu itu kaya mak-mak” protesnya gemas di suatu hari saat kamu membelikannya berbagai macam obat-obatan darurat yang sewaktu-waktu mungkin saja ia butuhkan ditengah malam, saat kebanyakan toko sudah tutup, atau saat kondisi tubuhnya terlalu kelelahan hingga enggan untuk mencari obat sendiri keluar. Kamu tahu, tidak pernah baginya terpikirkan hal-hal semacam itu, dan kamupun bukannya tidak sadar bahwa saat itu wujudmu pasti tampak sebagai makhluk terlebay yang pernah ia kenal dalam hidupnya. Tapi kamu hanya tertawa mendengar gerutunya, memilih tidak perduli dan tetap memberikan obat-obatan itu padanya. Bagimu, memastikan bahwa ia tidak kekurangan apapun saat ia membutuhkan adalah hal yang lebih penting untuk kamu lakukan.

Harusnya stok obat masuk angin itu ada ditangannya saat ini. Kamu sengaja membeli lagi sebelum bertemu dengannya suatu hari. Obat masuk anginnya yang dulu pasti sudah habis, sedangkan malam-malam selanjutnya masih mengharuskan ia pulang terbungkus angin malam, begitu pikirmu. Karenanya, hati-hati kamu selipkan obat itu didalam tasmu.

Siapa yang mengira, pertengkaran kalian di hari itu ternyata terlalu hebat, pekat dan amarah tak memberi kesempatan apapun  untuk mencairkan, termasuk obat masuk angin yang kamu bawa, ia bahkan tak sempat keluar dari tempatnya. Dia buru-buru emosi,  kamu buru-buru melangkah pergi. Dan kamu tidak menyangka, langkah kakimu tanpa disertai sergahan “jangan” darinya kali ini meruntuhkan apa yang kalian bangun selama ini. Egoisme yang sama-sama tinggi berubah menjadi semacam dua kepal tangan dengan kekuatan yang lebih dari cukup untuk menghancurkan kendi kalian yang telah retak hingga akhirnya menjadi berkeping-keping. Tak ada kata yang mampu menyatukan sekalipun kamu sudah mencoba memungut kepingan-kepingan itu, tidak sempat pula obat masuk angin yang kamu bawa itu berbicara untuk setidaknya menjadi saksi dan menjelaskan bahwa keadaan terburuk ini pun bukanlah inginmu, tidak pula waktu dan kebisuan yang kalian cipta sanggup menjadi perekat, tak ada yang sanggup menyelamatkan. Pada akhirnya kalian mengerti, menyelamatkan diri kalian masing-masing melalui jalan berbeda menjadi pilihan paling tepat sebelum kalian semakin jengah tak bisa kemana-kemana karena tujuan yang mungkin sudah tak lagi sama.

Jogjakarta, 11 Maret 2014

NB: Belum tentu yang kamu baca itu aku, belum tentu yang kamu baca itu kamu, apalagi dia. :)

0 komentar: