Tiada yang
mengerti, dan mungkin diapun tidak memahami, betapa tidak nyamannya matamu memandang kepingan-kepingan kendi kalian yang kini pecah berantakan, betapa sulitnya kamu memutuskan untuk tetap tinggal atau justru pergi. Kamu bukannya tidak
sadar bahwa kendi kalian telah retak sebelumnya, sedikit ketidakhati-hatian
akan membuatnya jatuh dan pecah menjadi berkeping-keping seperti saat ini. Entah perekat semacam apa lagi yang bisa menyatukannya.
Kamu dan dia
diam sembari membiarkan waktu bergulir,
berharap kebisuan yang kalian cipta lambat laun bersedia menjadi perekat
kepingan itu hingga utuh kembali. Waktu dan kebisuan mampu menjadi komposisi
perekat kendi kalian, tidak sekarang tapi nanti, saat kalian sama-sama
menyadari bahwa kalian butuh bersama dan bukannya berjalan sendiri sendiri, itu yang kamu pikir. Namun sayang,
waktu dan kebisuan kalian hambar, tak ada unsur yang mampu menjadi semacam zat
perekat dari keduanya.
Dia enggan
bersuara dan tak mampu pula kamu berbicara, tidak pula obat masuk angin yang
kamu selipkan di tasmu saat hari terakhir kalian berjumpa. Hari dimana dia
gagal memahami inginmu untuk kesekian kalinya, hari dimana kamu gagal memahami
inginnya untuk kesekian kalinya, paling gagal, paling fatal, itu bahasa yang
sanggup kamu baca dari matanya.
Beberapa hari
sebelum hari itu dia masuk angin, dibungkus angin disepanjang perjalanan
sepulang beraktivitas membuat angin malam kerap kali menyerang tubuhnya. Sebenarnya itu bukan hal yang baru baginya,
juga bagimu yang telah terbiasa setiap malam menunggu ia pulang lalu mendengar
sesekali ia bercerita tentang masuk anginnya, baik lewat telpon atau rangkaian
huruf yang tertera dilayar kaca. Ya, karena kalian memang masih harus berada di
dua tempat yang berbeda. Sekalipun tempat menunggumu bukanlah tempat ia pulang,
bagimu dan baginya ketidakrasionalan cinta mampu menghapus dimensi jarak hingga
seolah tak ada.
Malam itu ia
kembali bercerita bahwa masuk angin keparat itu kembali menyerang tubuhnya, tak
ada yang mampu kamu lakukan selain memastikan bahwa stok obat masuk angin yang
beberapa waktu lalu kamu beli untuknya
itu masih ada disana. Cinta juga ternyata rasional, jarak tetaplah jarak, dua
manusia yang berada di tempat terpisah tidaklah
mampu berhadap-hadapan untuk saling menolong secara langsung satu sama lain
karenanya.
“Hadeeehh.. kamu itu kaya mak-mak” protesnya gemas di suatu hari saat kamu membelikannya berbagai
macam obat-obatan darurat yang sewaktu-waktu mungkin saja ia butuhkan ditengah
malam, saat kebanyakan toko sudah tutup, atau saat kondisi tubuhnya terlalu
kelelahan hingga enggan untuk mencari obat sendiri keluar. Kamu tahu, tidak
pernah baginya terpikirkan hal-hal semacam itu, dan kamupun bukannya tidak
sadar bahwa saat itu wujudmu pasti tampak sebagai makhluk terlebay yang pernah
ia kenal dalam hidupnya. Tapi kamu hanya tertawa mendengar gerutunya, memilih
tidak perduli dan tetap memberikan obat-obatan itu padanya. Bagimu, memastikan
bahwa ia tidak kekurangan apapun saat ia membutuhkan adalah hal yang lebih
penting untuk kamu lakukan.
Harusnya stok obat
masuk angin itu ada ditangannya saat ini. Kamu sengaja membeli lagi sebelum
bertemu dengannya suatu hari. Obat masuk anginnya yang dulu pasti sudah habis, sedangkan
malam-malam selanjutnya masih mengharuskan ia pulang terbungkus angin malam, begitu
pikirmu. Karenanya, hati-hati kamu selipkan obat itu didalam tasmu.
Siapa yang
mengira, pertengkaran kalian di hari itu ternyata terlalu hebat, pekat dan amarah tak memberi kesempatan apapun untuk mencairkan, termasuk obat masuk angin
yang kamu bawa, ia bahkan tak sempat keluar dari tempatnya. Dia buru-buru
emosi, kamu buru-buru melangkah pergi. Dan
kamu tidak menyangka, langkah kakimu tanpa disertai sergahan “jangan” darinya kali
ini meruntuhkan apa yang kalian bangun selama ini. Egoisme yang sama-sama
tinggi berubah menjadi semacam dua kepal tangan dengan kekuatan yang lebih dari
cukup untuk menghancurkan kendi kalian yang telah retak hingga akhirnya menjadi
berkeping-keping. Tak ada kata yang mampu menyatukan sekalipun kamu sudah mencoba
memungut kepingan-kepingan itu, tidak sempat pula obat masuk angin yang kamu
bawa itu berbicara untuk setidaknya menjadi saksi dan menjelaskan bahwa keadaan
terburuk ini pun bukanlah inginmu, tidak pula waktu dan kebisuan yang kalian cipta
sanggup menjadi perekat, tak ada yang sanggup menyelamatkan. Pada akhirnya
kalian mengerti, menyelamatkan diri kalian masing-masing melalui jalan berbeda
menjadi pilihan paling tepat sebelum kalian semakin jengah tak bisa kemana-kemana
karena tujuan yang mungkin sudah tak lagi sama.
Jogjakarta, 11 Maret 2014
NB: Belum tentu yang kamu baca itu aku, belum tentu yang kamu baca itu kamu, apalagi dia. :)
0 komentar:
Posting Komentar