"Dunia adalah sebuah buku,
dan anda
yang tidak melakukan travelling
kemana-mana hanya membaca satu halaman saja."
(Saint Agustine)
Sesuai dengan
kalimat diatas, memperbanyak jumlah halaman buku boleh jadi adalah salah satu
alasan kenapa saya gemar sekali bepergian kesana kemari. Travelling atau jalan-jalan sebenarnya adalah kesukaan yang
sangat umum. Siapa yang suka jalan-jalan? Tanyakan itu pada sekelompok orang
dan hampir semuanya pasti akan mengacungkan tangan. Tapi berapa banyak orang
yang berani menjadikan travelling sebagai prioritas, dimana ia rela
menghabiskan uangnya untuk travelling ketimbang untuk membeli baju, tas, atau
membeli kebutuhan lainnya? Disaat harus memilih seperti itu, tentu tidak semua orang berani
dan sanggup memprioritaskan travelling.
Kali ini saya
ingin menulis tentang salah satu esensi dari travelling selain dari hal-hal yang berkaitan dengan destinasi, sambil mencari tahu esensi-esensi
lain dari travelling itu sendiri dari sudut pandang siapapun yang mungkin membaca
lalu mengomentari tulisan ini.
Saya memiliki 2
tai lalat di telapak kaki kanan saya. Waktu kecil, orang-orang sekitar saya
meramalkan bahwa kalau sudah besar nanti, saya pasti suka jalan-jalan dan akan
sampai pada tempat yang jauh. Entah karena tai lalat itu atau bukan, kenyataannya
saya memang tumbuh menjadi orang yang suka wara-wari. Faktor lain yang
rasanya lebih ilmiah adalah karena pengaruh gen. Berawal dari sebuah perjalanan
jauh, ayah saya akhirnya menjadi seorang perantau yang tinggal jauh dari tempat
asalnya. Disisi lain, sampai sekarang Ibu saya adalah orang yang sangat
bersemangat jika diajak travelling, katanya untuk menikmati hidup, refreshing
agar tidak stress. You don’t need a doctor when you are stress, all you need is
a journey. Tanpa pernah membaca quotes populer ini, ternyata ibu saya memiliki persepsi
yang hampir sama dengan penulisnya.
Travelling bukan
hanya tentang destinasi atau tempat tujuan yang pada akhirnya dibingkai dalam figura atau di
upload di media social dengan gambar yang turut serta memampang wajah kita didalamnya.
Terlepas dari itu, travelling adalah tentang apa-apa saja yang dialami dalam
perjalanan, sebuah proses dan bukan hanya tujuan akhir dari sebuah
perjalanan. What do you really get on the way to your destination guys?
Dalam perjalanan, ada banyak orang dan hal baru yang akan kita
temukan, yang kita tidak pernah tahu akan membawa pengaruh seperti apa dalam
hidup kita ke depan. Pengaruh ini tak selalu dirasakan secara sadar, namun juga secara tak
sadar. Artinya hal-hal yang kita temui tanpa disadari bisa saja menciptakan
pola pikir baru kita dalam hal apapun.
Dalam perjalanan
didalam kereta ekonomi malam dari Jogja menuju Bandung, saya bertemu dengan seorang
ayah yang harus terpisah dengan keluarganya untuk bekerja di provinsi lain, dengan
tersenyum dia menunjukkan foto anak kembarnya yang baru lahir namun kini harus ditinggalkan,
demi dompet yang harus diisi, demi hidup yang harus dihidupi. Kami sama-sama
duduk diatas lembaran koran yang digelar tepat ditengah-tengah lorong kereta
bersama penumpang lain yang juga tidak kebagian tempat duduk (pada waktu itu
peraturan tidak seketat sekarang, penumpang masih bisa masuk kereta meskipun tidak
kebagian kursi). Di atas lembaran koran itu pula, saya yang tidur sambil
menumpukan kepala diatas lutut saya yang terlipat, harus rela terbangun karena pengemis tanpa kaki yang permisi mau lewat, setelah itu harus
rela pula dilangkahi ibu-ibu pedagang asongan yang meninggalkan anak-anaknya dirumah tengah
malam demi menjajakan barang dagangannya diatas kereta. Ini bukan tentang kenyamanan saya sebagai penumpang yang diganggu, tapi tentang kenyataan
hidup sulit mereka yang malam itu terpampang nyata didepan mata.
Di dalam perjalanan
yang lain, saya duduk bersebelahan dengan seorang ibu yang mengeluhkan jatah
kursi kereta yang kurang untuk anaknya, sehingga anaknya harus menduduki kursi
lain yang sementara memang tak bertuan. Pihak kereta malah memperkeruh
keadaan dengan urusan ribet yang harus ditempuh ibu tersebut di stasiun
selanjutnya dan blablabla. Karena merasa tidak salah dan justru dirugikan, Ibu tersebut
dengan tegas membela diri bahkan menuntut akan membawa masalah ini ke
pengadilan jika memang perlu. Alhasil petugas yang tadinya bersikap cukup
arrogant pun akhirnya mau minta maaf dan berusaha mencarikan solusi yang cukup
masuk akal untuk masalah ini. Belakangan saya tahu bahwa ternyata ibu tersebut
teman kuliah Abraham Samad ketua KPK. Orang lain lagi yang duduk disebelah saya
berceletuk pelan pada saya “Tuh kena deh ngadepin orang pinter, ga bisa
berkutik mereka (petugas KA)”. Saya tersenyum, tapi yang jelas, mau berlatar
belakang sebagai orang berpendidikan sekelas Abraham Samad atau bukan, jika
memang kita menemukan hal yang harus diperjuangkan memang sudah seharusnya kita
berani memperjuangkan.
Dalam perjalanan lain, pernah saya menyimak percakapan seorang ibu dengan pemuda
disampingnya, beliau bercerita bahwa setiap beberapa hari sekali harus bolak
balik dari Solo ke Jogja karena anak beliau yang terkena kanker dan dirawat di
rumah sakit di Jogja. Beliau bercerita panjang lebar dengan pemuda yang sebelumnya
tidak dikenal tersebut, dan pemuda itupun membesarkan hati beliau sambil
memberi beberapa informasi mengenai penanganan kanker yang ia tahu. Puluhan
cerita lain bisa jadi sedang bertukar antara orang asing satu dengan orang
asing lainnya diatas kendaraan yang sama pada waktu itu. Dan saya pikir, menceritakan
apa yang sedang kita hadapi kepada orang asing rasanya bukan hal yang buruk, bahkan bisa jadi melegakan untuk mengeluarkan unek-unek. Orang asing tidak pernah mengenal kita
sebelumnya, asal apa yang kita ceritakan tidak menyimpang dari yang sebenarnya, bukan tidak mungkin kita justru akan mendapatkan sudut pandang yang lebih objektif. Selain itu, pertemuan itu hanya akan terjadi sekali saja, tak
ada citra memalukan atau menyedihkan yang berkepanjangan, toh setelah ini jalan
raya yang akan kita tempuh dengan orang tersebut tidaklah sama, begitupun
tempat yang kita tuju. Kita kembali berpisah dan selesai sudah.
Beberapa hal
dalam perjalanan memang kadang hanya akan melintas, ia meninggalkan jejak, lalu akan
hilang begitu saja, termasuk orang-orang yang kita temui. Setelah bertemu dalam
perjalanan, lalu sudah, hanya sampai disitu saja, tinggal pelajarannya saja
yang membekas lalu kita bawa pulang. Tapi di zaman yang serba canggih seperti
saat ini sebenarnya masing-masing orang bisa saja meneruskan perkenalan singkat
tersebut lewat media social dan lain sebagainya. Toh relasi juga cukup penting,
dan kita bisa menemukannya dimana saja, bukankah menambah relasi bisa menjadi
suatu hal yang menguntungkan? Sebagai mana pepatah lama mengatakan, banyak
teman banyak rejeki.
Travelling
memang rasanya akan lebih menyenangkan jika dilakukan bersama teman-teman.
Namun harus diakui pula bahwa travelling adalah kegiatan yang cukup menguras
fisik, ada saatnya kita akan kelelahan, kalau sudah begitu biasanya sisi
egoisme masing-masing orang akan muncul, emosi mudah terpancing, dan bisa
memicu keruhnya keadaan antar sesama. Jadi jangan lupa untuk saling mengerti, meredam ego satu sama lain, dan yang jelas menjaga suasana tetap ceria. Bukankah salah satu tujuan dari travelling adalah untuk have fun ?
Nah, kalau
memang kesempatan travelling yang datang nanti menuntut kita untuk menjadi Solo traveller? Pergi sendirian, Why not
? Gambaran sederhana tentang hal ini
sudah saya pertanyakan semenjak masih SMA. Suatu hari saya duduk-duduk diteras
kelas di lantai 2 dengan seorang teman, kemudian dia berkata sambil
memperhatikan teman saya yang lain yang sedang melintas sendirian dibawah sana.
“Kok mau ya dia jalan beli jajan sendirian gitu?” saya jawab, “Kenapa tidak? Apanya yang salah?”
Apakah salah
jika seseorang berjalan sendirian ditengah keramaian? Dan apakah akan terlihat
semakin salah jika seseorang melakukan perjalanan sendirian? Untuk alasan
keamanan, mungkin memang masuk akal. Tapi selama kita yakin dan memastikan bahwa
jalur yang kita tempuh aman-aman saja, siap mengantisipasi penjahat dengan membawa gunting
atau saos cabai pedas untuk disemprotkan ke matanya, mengucap shalawat didalam
hati ketika diajak bersalaman agar terhindar dari hipnotis orang yang berniat
jahat, tidak turun dari bis dipinggir jalan raya ditengah malam, mempersiapkan
mencari info rute yang akan dilewati agar tidak tersesat, rasanya tidak salah
juga jika bepergian sendirian. Alasan lain, apakah karena akan terlihat bodoh
alias ngah-ngoh? Sepengalaman saya, bepergian sendirian justru menuntut
kita untuk bertanya jika memang kebingungan, mencari tahu, dan yang jelas
memulai terciptanya sebuah interaksi dengan orang-orang baru, tidak sama halnya
dengan bepergian beramai-ramai yang memungkinkan kita untuk membuat percakapan yang hanya
terbatas dalam satu kelompok kita saja. Menjadi Solo Traveller, pada akhirnya tidak akan membuat kita benar-benar pergi sendirian karena ada banyak orang lain di sekitar kita, bukan ? hehe.
Itu
sekelumit bagian dari travelling yang ingin saya tulis. Sebuah proses yang
bukan hanya sekedar akhir. Adegan yang biasanya justru luput dari bidikan kamera. Sisi yang tak kalah pentingnya dengan destinasi sebagai alasan awal
kenapa kita bepergian. Hal-hal seperti itu pula yang saya rasa mendasari para
backpacker terkenal Indonesia seperti Elok Dyah Messwati, Nancy Margaretha,
Andrei Budiman, Trinity, dan lain-lain, untuk lebih memilih menginap dirumah
host ketimbang di hotel, naik kendaraan umum ketimbang mobil carteran, dan
hal-hal lain yang rasanya akan lebih memberi pelajaran dengan adanya interaksi
dengan masuk langsung dalam lingkaran kehidupan masyarakat. Faktor ekonomis
rasanya tidak melulu menjadi alasan, mengingat proses dari sebuah
perjalanan juga mampu memberi kekayaan dari sisi yang tak kasat mata.
Teringat
dengan salah satu kalimat yang tertulis di papan iklan sebuah agen travel di salah satu perempatan strategis Kota Jogja, ijinkan saya menuliskannya disini untuk
menutup oret-oretan kali ini.
“Travelling is
the only thing you buy that can make you richer”
Tanjung, 14 November 2014.
2 komentar:
Cool sist, i agree with you..
Travelling is more fun than other games in the world and its addicted haha
Hope u can travel to ur dream destination
Thank you bang.,
Amiiinn
so, it's better for you to be an addicted traveller or addicted gamer? hahahaha. I remember what you always did with your gadget loohh :p
Posting Komentar