Laman


Jumat, 14 November 2014

ON THE WAY


"Dunia adalah sebuah buku,
dan anda yang tidak melakukan travelling
kemana-mana hanya membaca satu halaman saja."
(Saint Agustine)

           Sesuai dengan kalimat diatas, memperbanyak jumlah halaman buku boleh jadi adalah salah satu alasan kenapa saya gemar sekali bepergian kesana kemari. Travelling atau  jalan-jalan sebenarnya adalah kesukaan yang sangat umum. Siapa yang suka jalan-jalan? Tanyakan itu pada sekelompok orang dan hampir semuanya pasti akan mengacungkan tangan. Tapi berapa banyak orang yang berani menjadikan travelling sebagai prioritas, dimana ia rela menghabiskan uangnya untuk travelling ketimbang untuk membeli baju, tas, atau membeli kebutuhan lainnya? Disaat harus memilih seperti itu, tentu tidak semua orang berani dan sanggup memprioritaskan travelling.

           Kali ini saya ingin menulis tentang salah satu esensi dari travelling selain dari hal-hal yang berkaitan dengan destinasi, sambil mencari tahu esensi-esensi lain dari travelling itu sendiri dari sudut pandang siapapun yang mungkin membaca lalu mengomentari tulisan ini.

         Saya memiliki 2 tai lalat di telapak kaki kanan saya. Waktu kecil, orang-orang sekitar saya meramalkan bahwa kalau sudah besar nanti, saya pasti suka jalan-jalan dan akan sampai pada tempat yang jauh. Entah karena tai lalat itu atau bukan, kenyataannya saya memang tumbuh menjadi orang yang suka wara-wari. Faktor lain yang rasanya lebih ilmiah adalah karena pengaruh gen. Berawal dari sebuah perjalanan jauh, ayah saya akhirnya menjadi seorang perantau yang tinggal jauh dari tempat asalnya. Disisi lain, sampai sekarang Ibu saya adalah orang yang sangat bersemangat jika diajak travelling, katanya untuk menikmati hidup, refreshing agar tidak stress. You don’t need a doctor when you are stress, all you need is a journey. Tanpa pernah membaca quotes populer ini, ternyata ibu saya memiliki persepsi yang hampir sama dengan penulisnya.

          Travelling bukan hanya tentang destinasi atau tempat tujuan yang pada akhirnya dibingkai dalam figura atau di upload di media social dengan gambar yang turut serta memampang wajah kita didalamnya. Terlepas dari itu, travelling adalah tentang apa-apa saja yang dialami dalam perjalanan, sebuah proses dan bukan hanya tujuan akhir dari sebuah perjalanan. What do you really get on the way to your destination guys? 

          Dalam perjalanan, ada banyak orang dan hal baru yang akan kita temukan, yang kita tidak pernah tahu akan membawa pengaruh seperti apa dalam hidup kita ke depan. Pengaruh ini tak selalu dirasakan secara sadar, namun juga secara tak sadar. Artinya hal-hal yang kita temui tanpa disadari bisa saja menciptakan pola pikir baru kita dalam hal apapun. 

          Dalam perjalanan didalam kereta ekonomi malam dari Jogja menuju Bandung, saya bertemu dengan seorang ayah yang harus terpisah dengan keluarganya untuk bekerja di provinsi lain, dengan tersenyum dia menunjukkan foto anak kembarnya yang baru lahir namun kini harus ditinggalkan, demi dompet yang harus diisi, demi hidup yang harus dihidupi. Kami sama-sama duduk diatas lembaran koran yang digelar tepat ditengah-tengah lorong kereta bersama penumpang lain yang juga tidak kebagian tempat duduk (pada waktu itu peraturan tidak seketat sekarang, penumpang masih bisa masuk kereta meskipun tidak kebagian kursi). Di atas lembaran koran itu pula, saya yang tidur sambil menumpukan kepala diatas lutut saya yang terlipat, harus rela terbangun karena pengemis tanpa kaki yang permisi mau lewat, setelah itu harus rela pula dilangkahi ibu-ibu pedagang asongan yang meninggalkan anak-anaknya dirumah tengah malam demi menjajakan barang dagangannya diatas kereta. Ini bukan tentang kenyamanan saya sebagai penumpang yang diganggu, tapi tentang kenyataan hidup sulit mereka yang malam itu terpampang nyata didepan mata.

        Di dalam perjalanan yang lain, saya duduk bersebelahan dengan seorang ibu yang mengeluhkan jatah kursi kereta yang kurang untuk anaknya, sehingga anaknya harus menduduki kursi lain yang sementara memang tak bertuan. Pihak kereta malah memperkeruh keadaan dengan urusan ribet yang harus ditempuh ibu tersebut di stasiun selanjutnya dan blablabla. Karena merasa tidak salah dan justru dirugikan, Ibu tersebut dengan tegas membela diri bahkan menuntut akan membawa masalah ini ke pengadilan jika memang perlu. Alhasil petugas yang tadinya bersikap cukup arrogant pun akhirnya mau minta maaf dan berusaha mencarikan solusi yang cukup masuk akal untuk masalah ini. Belakangan saya tahu bahwa ternyata ibu tersebut teman kuliah Abraham Samad ketua KPK. Orang lain lagi yang duduk disebelah saya berceletuk pelan pada saya “Tuh kena deh ngadepin orang pinter, ga bisa berkutik mereka (petugas KA)”. Saya tersenyum, tapi yang jelas, mau berlatar belakang sebagai orang berpendidikan sekelas Abraham Samad atau bukan, jika memang kita menemukan hal yang harus diperjuangkan memang sudah seharusnya kita berani memperjuangkan.

          Dalam perjalanan lain, pernah saya menyimak percakapan seorang ibu dengan pemuda disampingnya, beliau bercerita bahwa setiap beberapa hari sekali harus bolak balik dari Solo ke Jogja karena anak beliau yang terkena kanker dan dirawat di rumah sakit di Jogja. Beliau bercerita panjang lebar dengan pemuda yang sebelumnya tidak dikenal tersebut, dan pemuda itupun membesarkan hati beliau sambil memberi beberapa informasi mengenai penanganan kanker yang ia tahu. Puluhan cerita lain bisa jadi sedang bertukar antara orang asing satu dengan orang asing lainnya diatas kendaraan yang sama pada waktu itu. Dan saya pikir, menceritakan apa yang sedang kita hadapi kepada orang asing rasanya bukan hal yang buruk, bahkan bisa jadi melegakan untuk mengeluarkan unek-unek. Orang asing tidak pernah mengenal kita sebelumnya, asal apa yang kita ceritakan tidak menyimpang dari yang sebenarnya, bukan tidak mungkin kita justru akan mendapatkan sudut pandang yang lebih objektif. Selain itu, pertemuan itu hanya akan terjadi sekali saja, tak ada citra memalukan atau menyedihkan yang berkepanjangan, toh setelah ini jalan raya yang akan kita tempuh dengan orang tersebut tidaklah sama, begitupun tempat yang kita tuju. Kita kembali berpisah dan selesai sudah.

         Beberapa hal dalam perjalanan memang kadang hanya akan melintas, ia meninggalkan jejak, lalu akan hilang begitu saja, termasuk orang-orang yang kita temui. Setelah bertemu dalam perjalanan, lalu sudah, hanya sampai disitu saja, tinggal pelajarannya saja yang membekas lalu kita bawa pulang. Tapi di zaman yang serba canggih seperti saat ini sebenarnya masing-masing orang bisa saja meneruskan perkenalan singkat tersebut lewat media social dan lain sebagainya. Toh relasi juga cukup penting, dan kita bisa menemukannya dimana saja, bukankah menambah relasi bisa menjadi suatu hal yang menguntungkan? Sebagai mana pepatah lama mengatakan, banyak teman banyak rejeki.

       Travelling memang rasanya akan lebih menyenangkan jika dilakukan bersama teman-teman. Namun harus diakui pula bahwa travelling adalah kegiatan yang cukup menguras fisik, ada saatnya kita akan kelelahan, kalau sudah begitu biasanya sisi egoisme masing-masing orang akan muncul, emosi mudah terpancing, dan bisa memicu keruhnya keadaan antar sesama. Jadi jangan lupa untuk saling mengerti, meredam ego satu sama lain, dan yang jelas menjaga suasana tetap ceria. Bukankah salah satu tujuan dari travelling adalah untuk have fun ?

       Nah, kalau memang kesempatan travelling yang datang nanti menuntut kita untuk menjadi Solo traveller? Pergi sendirian, Why not ? Gambaran sederhana tentang  hal ini sudah saya pertanyakan semenjak masih SMA. Suatu hari saya duduk-duduk diteras kelas di lantai 2 dengan seorang teman, kemudian dia berkata sambil memperhatikan teman saya yang lain yang sedang melintas sendirian dibawah sana. “Kok mau ya dia jalan beli jajan sendirian gitu?”  saya jawab, “Kenapa tidak? Apanya yang salah?”

       Apakah salah jika seseorang berjalan sendirian ditengah keramaian? Dan apakah akan terlihat semakin salah jika seseorang melakukan perjalanan sendirian? Untuk alasan keamanan, mungkin memang masuk akal. Tapi selama kita yakin dan memastikan bahwa jalur yang kita tempuh aman-aman saja, siap mengantisipasi penjahat dengan membawa gunting atau saos cabai pedas untuk disemprotkan ke matanya, mengucap shalawat didalam hati ketika diajak bersalaman agar terhindar dari hipnotis orang yang berniat jahat, tidak turun dari bis dipinggir jalan raya ditengah malam, mempersiapkan mencari info rute yang akan dilewati agar tidak tersesat, rasanya tidak salah juga jika bepergian sendirian. Alasan lain, apakah karena akan terlihat bodoh alias ngah-ngoh? Sepengalaman saya, bepergian sendirian justru menuntut kita untuk bertanya jika memang kebingungan, mencari tahu, dan yang jelas memulai terciptanya sebuah interaksi dengan orang-orang baru, tidak sama halnya dengan bepergian beramai-ramai yang memungkinkan kita untuk membuat percakapan yang hanya terbatas dalam satu kelompok kita saja. Menjadi Solo Traveller, pada akhirnya tidak akan membuat kita benar-benar pergi sendirian karena ada banyak orang lain di sekitar kita, bukan ? hehe.

       Itu sekelumit bagian dari travelling yang ingin saya tulis. Sebuah proses yang bukan hanya sekedar akhir. Adegan yang biasanya justru luput dari bidikan kamera. Sisi yang tak kalah pentingnya dengan destinasi sebagai alasan awal kenapa kita bepergian. Hal-hal seperti itu pula yang saya rasa mendasari para backpacker terkenal Indonesia seperti Elok Dyah Messwati, Nancy Margaretha, Andrei Budiman, Trinity, dan lain-lain, untuk lebih memilih menginap dirumah host ketimbang di hotel, naik kendaraan umum ketimbang mobil carteran, dan hal-hal lain yang rasanya akan lebih memberi pelajaran dengan adanya interaksi dengan masuk langsung dalam lingkaran kehidupan masyarakat. Faktor ekonomis rasanya tidak melulu menjadi alasan, mengingat proses dari sebuah perjalanan juga mampu memberi kekayaan dari sisi yang tak kasat mata.

     Teringat dengan salah satu kalimat yang tertulis di papan iklan sebuah agen travel di salah satu perempatan strategis Kota Jogja, ijinkan saya menuliskannya disini untuk menutup oret-oretan kali ini.

“Travelling is the only thing you buy that can make you richer”


Tanjung, 14 November 2014.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Cool sist, i agree with you..

Travelling is more fun than other games in the world and its addicted haha

Hope u can travel to ur dream destination

Endah Tri Wahyuni mengatakan...

Thank you bang.,
Amiiinn
so, it's better for you to be an addicted traveller or addicted gamer? hahahaha. I remember what you always did with your gadget loohh :p