Beberapa tahun
yang lalu, saya pernah menceritakan tentang sebuah kampung kepada seseorang. Saya
bercerita tentang bagaimana kampung itu berdiri, bagaimana kondisi disana, dan
apa yang akan didapat sepulang dari sana. Pada saat itu sifat sok tahu saya
mungkin berlebihan, tak ada sumber referensi dari orang lain secara langsung yang berhasil saya dapatkan sebenarnya. Apa yang saya ceritakan hanya berdasarkan apa yang dikatakan oleh
google, si sok tahu dari dunia maya yang beruntungnya dipercaya oleh banyak orang
di berbagai penjuru dunia nyata. Sebagaimana saya tertarik untuk tahu tentang
tempat itu lalu bertanya pada google, seperti itu pula seseorang
tersebut tertarik lalu bertanya tentang tempat itu pada saya. Seingat
saya, tak ada yang lebih antusias daripada dia. Itu terlihat dari cara ia
mendengarkan saya, cara ia membaca brosur yang saya cetak, pun caranya
mengiyakan keinginan saya untuk pergi kesana “Ya, kamu harus pergi kesana suatu
hari nanti.” begitu katanya. Dalam hati saya berjanji padanya“Ya, saya pasti kesana”
Pare. Itulah nama
kampung yang pernah saya ceritakan. Sebuah tempat yang sangat direkomendasikan
bagi siapa saja yang ingin mendalami bahasa ibu dari beberapa negara di dunia,
bahasa Inggris, itulah kenapa tempat ini dijuluki sebagai English Village. Meskipun
selama ini kemampuan bahasa inggris saya pas-pasan, tapi entah kenapa saya
menyukai bahasa ini dari dulu. Itulah salah satu alasan kenapa saya ingin pergi
ke tempat ini.
Juni 2014, ini
menjadi bulan ulang tahunnya. Entah ini lebih tepat disebut sebagai kado atau
apa, saya pun berangkat dari Jogja menuju Pare di bulan yang sama. Bersama seorang teman saya, Kiki,
saya menjejak tanah Pare pada 11 Juni pukul 7 malam, tepat di depan lembaga
yang akan menjadi tempat kursus kami sebulan kedepan. Pare sekilas sama seperti
kampung–kampung di pulau Jawa pada umumnya, dengan jalan-jalan kecil yang
sebagian masih tak beraspal, juga dengan sawah dan ladang yang mudah ditemui di
kiri kanannya. Yang sedikit membuat berbeda adalah karena tempat itu diramaikan
oleh lalu lalang anak muda yang entah darimana saja asalnya. Satu hal yang
pasti, mereka pasti pernah menjadi seperti kami, anak muda bertampang lusuh disertai backpack atau koper besar yang untuk pertama kalinya menjejak
tanah Pare dengan sedikit tampang kebingungan butuh arahan. Ya, itulah wujud para
pendatang saat baru tiba di Pare.
Saya dan Kiki
tinggal di sebuah camp dalam satu kamar yang diisi oleh 4 orang, kami akan
tinggal disini kurang lebih selama satu bulan. Bisa dibayangkan betapa akan
jadi terasa sangat sempit kamar ini jika penghuninya sedang berkumpul semua. Belum
lagi saya harus direpotkan dengan sebuah kebiasaan baru yang mau tidak mau harus saya jalani, bangun
sesubuh-subuhnya untuk mengantri mandi dan kemudian pergi ke tempat kursus dengan langkah kaki secepat mungkin agar segera sampai karena kelas dimulai pada pukul 05.30
setiap harinya. “What ? ini jadwalnya nggak salah Ki?” saya meyakinkan pada
Kiki. Ada ya? Kelas yang mulai jam segini? Yang benar saja? Bahkan kampus kami
selama inipun tak pernah melatih kami untuk memulai aktivitas belajar sepagi
ini. Tapi apa mau dikata, inilah kebiasaan baru yang harus kami mulai.
Beberapa hari
berlalu, hampir tak ada yang spesial dari kampung ini. Kegiatan saya benar-benar
monoton, mengikuti kegiatan kursus dari dini hari sampai pukul 11.30 siang lalu
pulang dan menghabiskan sisa waktu diatas tempat tidur dengan gadget ditangan,
tak bisa pergi kemana-mana karena kami belum menyewa sepeda sebagai alat
transportasi sementara disana. “Bosen,
tiap hari begini terus” begitu Kiki bilang. Ya, saya mengiyakan. Bagaimanapun saya
merasakan apa yang Kiki rasakan. Terkurung dalam dunia sempit begini bukanlah
sesuatu yang menyenangkan, bahkan mengerikan mengingat kami akan menghuninya
selama satu bulan kedepan. Tempat ini pasti akan terasa tak ada bedanya dengan
penjara. Saya mulai melongok dan bertanya ke dalam diri saya sendiri, untuk
semua inikah saya harus menepati janji dan datang ke tempat ini?
Tak genap
seminggu di Pare, segalanya mulai terasa berbeda. Saya menemukan alasan
demi alasan berharga kenapa saya harus datang ke tempat ini. Pare, mendadak
menjadi semacam dunia dengan ruang dan dimensi lain dari dunia tempat saya
berada selama ini. Kampung ini menjadi tempat dimana saya memulai segalanya
dari nol, dengan orang-orang baru, lingkungan baru, yang pada akhirnya lebih
senang saya sebut dengan istilah keluarga baru. Bahkan, tempat ini bisa menjadi
tempat yang cocok bagi siapa saja jika ingin melarikan diri sejenak dari
kegalauan hati, karena ditempat ini kita tak akan pernah sendiri, selalu ada
teman-teman yang menemani dan berbagai aktivitas yang minta diiisi.
Kelas program
yang saya ambil terdiri dari 13 orang dan kami selalu bersama setiap harinya. Tak
heran jika kami tak butuh waktu lama untuk saling klop satu sama lain. Ada Ian
si tetua Pare dan tahu banyak tentang Pare, yang doyan nolongin temennya yang
lagi butuh bantuan, ada bang Fikar si pecinta alam yang ekspresinya tak
tertandingi jika berbicara dalam bahasa Inggris, ada bang Fuad pencetus
kata-kata fenomenal yang jadi trendsetter di kelas “You’re amazing, professional,
kalian luar biasa, face it like a man”. Ada bang Wisnu anak Jakarte yang doyan
nguber uber cewek tapi senang berbagi rejeki seperti dewa wisnu yang suka memberi, ada
si Dewa yang sering bilang “ee buseeettt” dan kalo difoto ekspresinya serius
pake banget, ada bang Hilman pecandu game yang keliatan pendiem tapi kalau udah
ngomong suka bikin ngakak, ada Ipul yang dari stylenya tak disangka dan tak diduga
ternyata anak jurusan tafsir Al Qur’an, ada Ezzy si bocah yang tertarik ngomongin
politik dan suaranya kenceng abis, ada Firda si gadis rajin yang selalu duduk
di barisan depan dan kata anak-anak tidak cocok duduk dibelakang, ada Ani si
gadis pencari tembok yang selalu mencari posisi duduk sedemikian hingga bisa
bersandar di tembok selama pelajaran, ada Dini si admin grup WA yang doyan
banget difoto, dan tentunya ada Kiki si sohib kalem yang selalu membersamai
langkah-langkah saya dari Jogja hingga kembali ke Jogja lagi. Ditambah lagi anak-anak
camp yang baik hati dan tidak sombong, Lia, Reta, mbak Yuyun, Rizky, mbak Mita,
mbak Widya, mbak Ria, dll, sungguh beruntung dan menyenangkan bertemu penghuni
camp yang welcome seperti mereka.
Bersama mereka,
lalu suasana belajar saya disana terasa menyenangkan. Karena ada mereka, lalu sempat
saya terpikir untuk tidak buru-buru pulang. Karena hal-hal gila yang pernah saya lalui
bersama mereka, lalu saya terpikir untuk kembali ke tempat itu lagi suatu hari
nanti. Mereka yang semangat belajarnya tinggi, mereka yang rela jauh-jauh datang
ke tempat ini demi mengumpulkan bekal untuk masa depan yang lebih baik lagi,
mereka yang haus pengalaman dan senang pergi kesana kemari. Mereka yang kadang
juga gila namun membuat saya senang menjadi bagian dari mereka. Saya belajar
banyak hal dari mereka, dan itu tidak bisa saya jabarkan satu persatu.
Kini kami kembali
ke dunia kami masing-masing. Pare menjadi semacam dunia yang menyenangkan, meski sekilas semu. Orang datang dan pergi silih berganti, hampir tak ada yang
permanent. Tak ada lagi pergi bersama kesana kemari naik sepeda onthel
mengelilingi kampung, tak ada lagi sarapan serba lima ribu dengan gratis
gorengan 2 biji di tempat simbah, tak ada lagi raut wajah yang sama-sama
bingung saat scoring IELTS, tak ada lagi
rasa penasaran sampai taruhan kebab saat akan menerima hasil scoring TOEFL dari
Miss Irfa, tak ada lagi suara khas Mr Aziz yang senang mencari verb, conjuction, to be
beserta keluarga besar grammar lainnya dalam soal structure TOEFL, dan tak ada lagi
suara asal ngoceh dengan dialek America, British, sampe Brutush di kelas Speakingnya Miss
Gita Gutawa. Semuanya dikemas dalam ruang dan waktu yang singkat dan kini
lenyaplah sudah kebiasan-kebiasaan itu. Yang tertinggal adalah ilmu dan kenangannya. Yang
tersimpan sebagai pembuka kenangan adalah ratusan foto kebersamaannya. Yang tercetak dan bisa jadi
bekal formal adalah sertifikat dan hasil belajarnya. Yang jadi
saksi adalah tempat-tempatnya, ruang kelas, Gumul, depan mushola tempat ngumpul sebelum scoring, tempat
makan, tempat nongkrong, hingga kawasan Bromo. Tapi, berdiri diatas
segalanya, yang permanent adalah persaudaraannya. Semoga tidak akan lekang oleh
waktu.
***
Mobil ditengah malam
itu menderu meninggalkan Kampung Inggris, membawa saya dan Kiki yang lebih banyak diam karena menyimpan perasaan
beragam. Ada senang dan sedih yang mau tak mau harus kami bawa pulang. Kursus telah berakhir
dan kami harus pulang sedikit lebih awal dibanding teman-teman yang lain, kembali ke dunia
kami dan menghadapi kenyataan di dimensi lain yang menanti untuk dihadapi. Saya
memandang keluar jendela mobil meski sebenarnya tak banyak yang bisa dipandang
karena gelapnya malam, terdiam dan teringat Farewell party dengan teman-teman beberapa jam lalu. Saya
tak menyangka akan melakukan perpisahan sesedih ini, di Pare, a small
village with a big memory.
Saya mengerti
sekarang, untuk alasan apa saya harus pergi ke tempat itu. Janji itu sudah saya
tepati, meskipun tak akan pernah bisa saya jumpai lagi ekspresi itu, ekspresi antusias
dari seseorang jika saja ia mendengar saya bercerita tentang tempat itu berdasarkan
pengalaman nyata dan bukannya hasil bertanya pada google semata. Tak perlu saya
bercerita, Tuhan pasti sudah memberitahunya. That’s for you Dad.
Tanjung, 01
Agustus 2014.
2 komentar:
Super sekali neng isinya..
I think pare was awesome experience..
Met u and other like a sweet memories to me..
Success yaa ndah
Btw why my face published in here, you not permitted with me hehe..
Kidding ya
-hqs07
Yea that was memorable :D
Thank you bang, sukses juga ya on travelling, writing, and working nya.
haha. let it be. just face your face like a man :p face it like a man, wkwk
Posting Komentar