Laman


Jumat, 01 Agustus 2014

A small village with a big memory



Beberapa tahun yang lalu, saya pernah menceritakan tentang sebuah kampung kepada seseorang. Saya bercerita tentang bagaimana kampung itu berdiri, bagaimana kondisi disana, dan apa yang akan didapat sepulang dari sana. Pada saat itu sifat sok tahu saya mungkin berlebihan, tak ada sumber referensi dari orang lain secara langsung yang berhasil saya dapatkan sebenarnya. Apa yang saya ceritakan hanya berdasarkan apa yang dikatakan oleh google, si sok tahu dari dunia maya yang beruntungnya dipercaya oleh banyak orang di berbagai penjuru dunia nyata. Sebagaimana saya tertarik untuk tahu tentang tempat itu lalu bertanya pada google, seperti itu pula seseorang tersebut tertarik lalu bertanya tentang tempat itu pada saya. Seingat saya, tak ada yang lebih antusias daripada dia. Itu terlihat dari cara ia mendengarkan saya, cara ia membaca brosur yang saya cetak, pun caranya mengiyakan keinginan saya untuk pergi kesana “Ya, kamu harus pergi kesana suatu hari nanti.” begitu katanya. Dalam hati saya berjanji padanya“Ya, saya pasti kesana”

Pare. Itulah nama kampung yang pernah saya ceritakan. Sebuah tempat yang sangat direkomendasikan bagi siapa saja yang ingin mendalami bahasa ibu dari beberapa negara di dunia, bahasa Inggris, itulah kenapa tempat ini dijuluki sebagai English Village. Meskipun selama ini kemampuan bahasa inggris saya pas-pasan, tapi entah kenapa saya menyukai bahasa ini dari dulu. Itulah salah satu alasan kenapa saya ingin pergi ke tempat ini.

Juni 2014, ini menjadi bulan ulang tahunnya. Entah ini lebih tepat disebut sebagai kado atau apa, saya pun berangkat dari Jogja menuju Pare di bulan yang sama. Bersama seorang teman saya, Kiki, saya menjejak tanah Pare pada 11 Juni pukul 7 malam, tepat di depan lembaga yang akan menjadi tempat kursus kami sebulan kedepan. Pare sekilas sama seperti kampung–kampung di pulau Jawa pada umumnya, dengan jalan-jalan kecil yang sebagian masih tak beraspal, juga dengan sawah dan ladang yang mudah ditemui di kiri kanannya. Yang sedikit membuat berbeda adalah karena tempat itu diramaikan oleh lalu lalang anak muda yang entah darimana saja asalnya. Satu hal yang pasti, mereka pasti pernah menjadi seperti kami, anak muda bertampang lusuh disertai backpack atau koper besar yang untuk pertama kalinya menjejak tanah Pare dengan sedikit tampang kebingungan butuh arahan. Ya, itulah wujud para pendatang saat baru tiba di Pare.

Saya dan Kiki tinggal di sebuah camp dalam satu kamar yang diisi oleh 4 orang, kami akan tinggal disini kurang lebih selama satu bulan. Bisa dibayangkan betapa akan jadi terasa sangat sempit kamar ini jika penghuninya sedang berkumpul semua. Belum lagi saya harus direpotkan dengan sebuah kebiasaan baru yang mau tidak mau harus saya jalani, bangun sesubuh-subuhnya untuk mengantri mandi dan kemudian pergi ke tempat kursus dengan langkah kaki secepat mungkin agar segera sampai karena kelas dimulai pada pukul 05.30 setiap harinya. “What ? ini jadwalnya nggak salah Ki?” saya meyakinkan pada Kiki. Ada ya? Kelas yang mulai jam segini? Yang benar saja? Bahkan kampus kami selama inipun tak pernah melatih kami untuk memulai aktivitas belajar sepagi ini. Tapi apa mau dikata, inilah kebiasaan baru yang harus kami mulai.

Beberapa hari berlalu, hampir tak ada yang spesial dari kampung ini. Kegiatan saya benar-benar monoton, mengikuti kegiatan kursus dari dini hari sampai pukul 11.30 siang lalu pulang dan menghabiskan sisa waktu diatas tempat tidur dengan gadget ditangan, tak bisa pergi kemana-mana karena kami belum menyewa sepeda sebagai alat transportasi sementara disana.  “Bosen, tiap hari begini terus” begitu Kiki bilang. Ya, saya mengiyakan. Bagaimanapun saya merasakan apa yang Kiki rasakan. Terkurung dalam dunia sempit begini bukanlah sesuatu yang menyenangkan, bahkan mengerikan mengingat kami akan menghuninya selama satu bulan kedepan. Tempat ini pasti akan terasa tak ada bedanya dengan penjara. Saya mulai melongok dan bertanya ke dalam diri saya sendiri, untuk semua inikah saya harus menepati janji dan datang ke tempat ini?

Tak genap seminggu di Pare, segalanya mulai terasa berbeda. Saya menemukan alasan demi alasan berharga kenapa saya harus datang ke tempat ini. Pare, mendadak menjadi semacam dunia dengan ruang dan dimensi lain dari dunia tempat saya berada selama ini. Kampung ini menjadi tempat dimana saya memulai segalanya dari nol, dengan orang-orang baru, lingkungan baru, yang pada akhirnya lebih senang saya sebut dengan istilah keluarga baru. Bahkan, tempat ini bisa menjadi tempat yang cocok bagi siapa saja jika ingin melarikan diri sejenak dari kegalauan hati, karena ditempat ini kita tak akan pernah sendiri, selalu ada teman-teman yang menemani dan berbagai aktivitas yang minta diiisi.

Kelas program yang saya ambil terdiri dari 13 orang dan kami selalu bersama setiap harinya. Tak heran jika kami tak butuh waktu lama untuk saling klop satu sama lain. Ada Ian si tetua Pare dan tahu banyak tentang Pare, yang doyan nolongin temennya yang lagi butuh bantuan, ada bang Fikar si pecinta alam yang ekspresinya tak tertandingi jika berbicara dalam bahasa Inggris, ada bang Fuad pencetus kata-kata fenomenal yang jadi trendsetter di kelas “You’re amazing, professional, kalian luar biasa, face it like a man”. Ada bang Wisnu anak Jakarte yang doyan nguber uber cewek tapi senang berbagi rejeki seperti dewa wisnu yang suka memberi, ada si Dewa yang sering bilang “ee buseeettt” dan kalo difoto ekspresinya serius pake banget, ada bang Hilman pecandu game yang keliatan pendiem tapi kalau udah ngomong suka bikin ngakak, ada Ipul yang dari stylenya tak disangka dan tak diduga ternyata anak jurusan tafsir Al Qur’an, ada Ezzy si bocah yang tertarik ngomongin politik dan suaranya kenceng abis, ada Firda si gadis rajin yang selalu duduk di barisan depan dan kata anak-anak tidak cocok duduk dibelakang, ada Ani si gadis pencari tembok yang selalu mencari posisi duduk sedemikian hingga bisa bersandar di tembok selama pelajaran, ada Dini si admin grup WA yang doyan banget difoto, dan tentunya ada Kiki si sohib kalem yang selalu membersamai langkah-langkah saya dari Jogja hingga kembali ke Jogja lagi. Ditambah lagi anak-anak camp yang baik hati dan tidak sombong, Lia, Reta, mbak Yuyun, Rizky, mbak Mita, mbak Widya, mbak Ria, dll, sungguh beruntung dan menyenangkan bertemu penghuni camp yang welcome seperti mereka.

Bersama mereka, lalu suasana belajar saya disana terasa menyenangkan. Karena ada mereka, lalu sempat saya terpikir untuk tidak buru-buru pulang.  Karena hal-hal gila yang pernah saya lalui bersama mereka, lalu saya terpikir untuk kembali ke tempat itu lagi suatu hari nanti. Mereka yang semangat belajarnya tinggi, mereka yang rela jauh-jauh datang ke tempat ini demi mengumpulkan bekal untuk masa depan yang lebih baik lagi, mereka yang haus pengalaman dan senang pergi kesana kemari. Mereka yang kadang juga gila namun membuat saya senang menjadi bagian dari mereka. Saya belajar banyak hal dari mereka, dan itu tidak bisa saya jabarkan satu persatu.

Kini kami kembali ke dunia kami masing-masing. Pare menjadi semacam dunia yang menyenangkan, meski sekilas semu. Orang datang dan pergi silih berganti, hampir tak ada yang permanent. Tak ada lagi pergi bersama kesana kemari naik sepeda onthel mengelilingi kampung, tak ada lagi sarapan serba lima ribu dengan gratis gorengan 2 biji di tempat simbah, tak ada lagi raut wajah yang sama-sama bingung saat scoring IELTS,  tak ada lagi rasa penasaran sampai taruhan kebab saat akan menerima hasil scoring TOEFL dari Miss Irfa, tak ada lagi suara khas Mr Aziz yang senang mencari verb, conjuction, to be beserta keluarga besar grammar lainnya dalam soal structure TOEFL, dan tak ada lagi suara asal ngoceh dengan dialek America, British, sampe Brutush di kelas Speakingnya Miss Gita Gutawa. Semuanya dikemas dalam ruang dan waktu yang singkat dan kini lenyaplah sudah kebiasan-kebiasaan itu. Yang tertinggal adalah ilmu dan kenangannya. Yang tersimpan sebagai pembuka kenangan adalah ratusan foto kebersamaannya. Yang tercetak dan bisa jadi bekal formal adalah sertifikat dan hasil belajarnya. Yang jadi saksi adalah tempat-tempatnya, ruang kelas, Gumul, depan mushola tempat ngumpul sebelum scoring, tempat makan, tempat nongkrong, hingga kawasan Bromo. Tapi, berdiri diatas segalanya, yang permanent adalah persaudaraannya. Semoga tidak akan lekang oleh waktu.




***

Mobil ditengah malam itu menderu meninggalkan Kampung Inggris, membawa saya dan Kiki  yang lebih banyak diam karena menyimpan perasaan beragam. Ada senang dan sedih yang mau tak mau harus kami bawa pulang. Kursus telah berakhir dan kami harus pulang sedikit lebih awal dibanding teman-teman yang lain, kembali ke dunia kami dan menghadapi kenyataan di dimensi lain yang menanti untuk dihadapi. Saya memandang keluar jendela mobil meski sebenarnya tak banyak yang bisa dipandang karena gelapnya malam, terdiam dan teringat Farewell party dengan teman-teman beberapa jam lalu. Saya tak menyangka akan melakukan perpisahan sesedih ini, di Pare, a small village with a big memory.

Saya mengerti sekarang, untuk alasan apa saya harus pergi ke tempat itu. Janji itu sudah saya tepati, meskipun tak akan pernah bisa saya jumpai lagi ekspresi itu, ekspresi antusias dari seseorang jika saja ia mendengar saya bercerita tentang tempat itu berdasarkan pengalaman nyata dan bukannya hasil bertanya pada google semata. Tak perlu saya bercerita, Tuhan pasti sudah memberitahunya. That’s for you Dad.

Tanjung, 01 Agustus 2014.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Super sekali neng isinya..
I think pare was awesome experience..
Met u and other like a sweet memories to me..
Success yaa ndah

Btw why my face published in here, you not permitted with me hehe..
Kidding ya

-hqs07

Endah Tri Wahyuni mengatakan...

Yea that was memorable :D
Thank you bang, sukses juga ya on travelling, writing, and working nya.

haha. let it be. just face your face like a man :p face it like a man, wkwk