Laman


Selasa, 17 April 2012

Aku dan Waktu

Secarik senja baru saja memudar lalu menghitam, dan aku masih saja berdiri disini setelah menjadi saksi perginya sang matahari. Aku menyelami hari ini, putaran jam dinding yang takkan bisa kembali, orang-orangan awan yang tadi siang dibentuk oleh angin, dan kepercayaanku yang tidak pernah berubah tentang itu, bahwa langit sedang mendongengkan sebuah cerita. Aku tidak ingin bergerak, ingin rasanya mengulang beberapa detik yang lalu, tentang lukisan senja tempat dimana aku seolah pernah pernah menuliskan satu kata itu. Senja telah berlalu, namun warna emasnya masih bergelayut dalam ingatanku, sebagaimana jejak-jejak masa lalu yang juga masih tertinggal disana.

Kurasa kini aku harus sedikit menyimpangkan sedikit persepsiku mengenai masa lalu, dimana aku pernah berkata bahwa masa lalu adalah sesuatu yang berharga, tak perduli masa lalu itu baik ataukah buruk. Barangkali dulu aku tak berpikir cukup panjang ketika mengatakan itu pada diriku sendiri, hanya ucapan seseorang yang kala itu sedang dilanda ketakutan tentang alzheimer yang entah dari mana asalnya, yang aku tau ia bisa menyerang siapa saja, lalu dengan ganas bisa membuat masa lalu menjadi lembaran-lembaran tak berarti lagi. Nyatanya barangkali aku rela menjadi seorang alzheimer jika saja otak ini bisa menyeleksi setiap lembaran buruk untuk dihapuskan.

Benda-benda kecil berkilauan itu kemudian bermunculan, tamu-tamu malam itu telah datang. Aku tak pernah menantang waktu, tapi entah mengapa saat ini aku seperti sedang bertarung dengannya. Ia terus meninggalkanku bahkan ketika aku bertanya dengan sedikit memohon padanya, "berhentilah sejenak dan bisakah kau kembalikan senja itu?" Namun aku memang terlalu lemah dan bukan lawan yang sepadan bagimu wahai waktu, aku tau aku kalah ketika merasakan dengan bengisnya kau terus saja menyeret satu bagian tubuhku yang telah rapuh.

Kerlap-kerlip itu membuatku lupa sejenak akan pertarunganku dengan waktu, ia begitu indah, satu mahakarya lagi dilangit malam. Satu, dua, tiga,... banyak dan banyak sekali. Aku tidak sedang melakukan hal yang bodoh ketika aku terus menghitung jumlahnya bukan? Aku terus saja sibuk menghitung mereka satu persatu, setidaknya ini bisa melupakanku pada seretan sang waktu. Hingga kudengar suara bulan berbisik ditelingaku, “Hei, tidak kah kau merasa kehilangan aku ketika kau terlalu sibuk menghitung bintang-bintang itu? Padahal kau tahu jumlah mereka sangat banyak dan kau tidak akan cukup mampu untuk menghitungnya. Mengapa tidak menikmati kami dalam satu waktu?” Aku tersentak, sungguh aku tidak ingin kehilangan cahayamu wahai bulan.

Kusambut kedipan bintang yang sedang bermain mata, kurasakan cahaya bulan yang menerpa wajahku dengan lembut. Namun cahaya itu tiba-tiba saja mengingatkanku pada sebuah lukisan senja yang telah berlalu, dan ketakutanku pada waktu yang terus saja menyeretku sejak tadi. Kututup mata ini rapat-rapat. Jika kau tak akan pernah bisa kembali wahai waktu, berhentilah, berhentilah, biarkan aku lebih lama bersama bintang-bintang dan bulan itu disini, berhentilah menyeretku...

“Aku tak pernah menyeretmu, dan aku tak habis pikir dengan caramu memandang setiap detik yang ada dibelakangmu dan setiap detik yang ada dihadapanmumu, tapi aku yakin itulah yang membuatmu merasa terseret. Selamanya akan terseret jika kau terus merasakannya dengan cara itu, seretan itu tak akan berhenti sampai kau percaya bahwa masih ada yang berarti selain senja yang telah berlalu, tak akan berhenti sampai kau percaya bahwa pagimu masih bisa lebih menakjubkan daripada senjamu beberapa waktu yang lalu. Bukankah kau selalu percaya bahwa cara menikmati hidup adalah menikmati moment dari satu waktu ke waktu? Jikapun hidup ini hanya untuk 86.400 detik, tidak kah setiap detik begitu berharga untuk kau nikmati? Pagi itu pasti datang dan kau akan berjumpa matahari, menjumpai kembali bentuk orang orangan awan yang terbentuk oleh angin. Semoga saat itu kau telah sadar bahwa langit biru itu bukan sedang mendongeng, melainkan sedang mengikuti hukum alam yang nyata, hukum alam yang indah, dan kau harus mempercayainya." Bisik waktu.

Jogja, 17 April 2012