Dewi Lestari yang dikenal dengan
nama pena Dee adalah salah satu penulis favorit saya. Yah, mungkin belum cukup list
bacaan saya untuk dikatakan sebagai salah satu penggemar berat Dee karena pada
kenyataannya saya memang belum menghabiskan semua karya-karya Dee, hehe. tapi Perahu
Kertas, Filosofi Kopi, dan sebagian kisah dari Rectoverso yang sudah saya
baca sejauh ini telah cukup untuk membuat saya yakin bahwa saya benar-benar
jatuh hati pada karya-karyanya. Ajaib bagi saya, karena Tulisan Dee membuat
saya mengenali tulisan-tulisan yang bahkan tak bisa saya kenali sebelumnya,
tulisan yang selalu saya pertanyakan pada diri saya sendiri mengenai wujudnya, tulisan
yang akrab tapi terkadang menjadi asing jika saya mencoba mengenali wujudnya, tulisan
saya.
Dibawah ini adalah satu dari
sekian karya Dee yang menjadi favorit saya. Entah kenapa saya menyukainya. Sekedar
ingin share saja kepada pemirsa pembaca. Cekidottt :D
SURAT YANG TAK PERNAH
SAMPAI
Suratmu itu tidak akan pernah
terkirim, karena sebenarnya kamu hanya ingin berbicara kepada dirimu sendiri.
Kamu ingin berdiskusi dengan angin, dengan wangi sebelas tangkai sedap malam yangkamu
beli dari tukang bunga berwajah memelas, dengan nyamuk-nyamuk yang cari makan,
dengan malam, dengan detik jam...tentang dia.
Dia,
yang tidak pernah kamu mengerti. Dia, racun yang membunuhmu perlahan. Dia, yang
kamu reka dan kamu cipta.
Sebelah
darimu menginginkan agar dia datang, membencimu hingga muak dia mendekati gila,
menertawakan segala kebodohannya,
kekhilafannya untuk sampai jatuh hati kepadamu, menyesalkan magis yang
hadir naluriah setiap kali kalian berjumpa. Akan kamu kirimkan lagi tiket
bioskop, bon restauran, semua tulisannya, dari mulai nota sebaris hingga doa
berbait-bait. Dan beceklah pipinya karena geli, karena asap, dan abu dari
benda-benda yang dia hanguskan, bukti-bukti bahwa kalian pernah saling
tergila-gila beterbangan masuk kematanya. Semoga dia pergi dan tak pernah
menoleh lagi. Hidupmu, hidupnya, pasti akan lebih mudah.
Namun
sebelah dari kamu menginginkan agar dia datang menjemputmu, mengamini kalian
dan untuk kesekian, jatuh hati lagi, segila-gilanya, sampai batas gila dan
waras pupus dalam kesadaran murni akan cinta. Kemudian, mendamparkan dirilah
kalian di sebuah alam tak dikenal untuk membaca ulang semua kalimat, mengenang setiap
inci perjalanan, perjuangan, dan ketabahan hati. Betapa sebelah darimu percaya
bahwa setetes air mata pun akan terhitung, tak ada yang mengalir mubazir, segalanya
pasti bermuara di satu samudra tak terbatas, lautan merdeka yang bersanding
sejajar dengan cakrawala... dan itulah tujuan kalian.
Kalau
saja hidup tidak berevolusi, kalau saja sebuah moment dapat selamanya menjadi
fosil tanpa terganggu, kalau saja kekuatan kosmik mampu stagnan di satu titik,
maka... tanpa ragu kamu akan memilih satu detik bersamanya untuk diabadikan.
Cukup satu.
Satu detik yang segenap
keberadaannya dipersembahkan untuk bersamamu, dan bukan dengan ribuan hal lain
yang menanti untuk dilirik pada detik berikutnya. Betapa kamu rela membatu
untuk itu.
Akan
tetapi, hidup ini cair. Semesta ini bergerak. Realitas berubah. Seluruh simpul
dari kesadaran kita berkembang mekar. Hidup akan mengikis apa saja yang memilih
diam, memaksa kita untuk mengikuti arus agungnya yang jujur tapi penuh rahasia.
Kamu, tidak terkecuali.
***
Kamu
takut.
Kamu
takut karena ingin jujur. Dan kejujuran menyudutkanmu untuk mengakui kamu mulai
ragu. Dialah bagian terbesar dalam hidupmu, tetapi kamu cemas. Kata “Sejarah”
mulai menggantung hati-hati diatas sana. Sejarah kalian. Konsep itu menakutkan
sekali
Sejarah
memiliki tampuk istimewa dalam hidup manusia, tetapi tidak lagi melekat utuh
pada realitas. Sejarah seperti awan yang tampak padat berisi tetapi ketika
disentuh menjadi embun yang rapuh.
Skenario perjalanan kalian mengharuskanmu untuk menyejarahkannya,
merekamnya, sang tujuan, sang inspirasi bagi segala mahakarya yang termuntahkan
ke dunia. Sementara dalam setiap detik yang berjalan, kalian seperti musafir
yang tersesat di padang. Berjalan dengan kompas masing-masing, tanpa ada usaha
saling mencocokkan. Sesekali kalian bertemu, berusaha saling toleransi atas
nama cinta dan perjuangan yang tidak boleh sia-sia. Kamu sudah membayar mahal
untuk perjalanan ini. Kamu pertaruhkan segalanya demi apa yang kamu rasa benar.
Dan mencintainya menjadi kebenaran tertinggimu.
Lama,
baru kamu menyadari bahwa pengalaman merupakan bagian tak terpisahkan dari
hubungan yang diikat oleh seutas perasaan mutual.
Lama,
bagi kamu untuk berani menoleh kebelakang, menghitung, berapa
banyakkahpengalaman nyata yang kalian alami bersama.
Sebuah
hubungan yang dibiarkan tumbuh tanpa keteraturan akan menjadi hantu yang tidak
menjejak bumi, dan alasan cinta yang tadinya diagungkan bisa berubah menjadi
utang moral, investasi waktu, perasaan, serta perdagangan kalkulatif antara dua
pihak.
Cinta
butuh dipelihara. Bahwa di dalam sepak terjangnya yang serba mengejutkan, cinta
ternyata masih butuh mekanisme agar mampu bertahan. Cinta jangan selalu
ditempatkan sebagai iming-iming besar, atau seperti ranjau yang tahu-tahu
meledakkanmu, entah kapan dan kenapa. Cinta yang sudah dipilih sebaiknya
diikutkan disetiap langkah kaki, merekatkan jemari, dan berjalanlah kalian
bergandengan...karena cinta adalah mengalami.
Cinta
tidak hanya pikiran dan kenangan. Lebih besar, cinta adalah dia dan kamu.
Interaksi. Perkembangan dua manusia yang terpantau agar tetap harmonis. Karena
cinta pun hidup dan bukan maskot untuk disembah sujud.
Kamu
ingin berhenti memencet tombol tunda. Kamu ingin berhenti menyumbat denyut
alami hidup dan membiarkannya bergulir tanpa beban. Dan kamu tahu, itulah yang tidak bisa dia berikan kini.
Hingga akhirnya...
Di
meja itu, kamu dikelilingi tulisan tangannya yang tersisa (kamu baru sadar
betapa tidak adilnya ini semua. Kenapa harus kamu yang kebagian tugas
dokumentasi dan arsip sehingga cuma kamulah yang tersiksa?)
Jangan
heran kalau kamu menangis sejadi-jadinya.
Dia,
yang tidak pernah menyimpan gambar rupamu, pasti tidak tau apa rasanya menatap
lekat-lekat satu sosok, membayangkan rasa sentuh dari helai rambut yang polos
tanpa busa pengeras, rasa hangat uap tubuh yang kamu hafal betul temperaturnya.
Dan
kamu hanya bisa berbagi kesedihan itu, ketidakrelaan itu, kelemahan itu, dengan
wangi bunga yang melangu, dengan malam yang pasrah digusur pagi, dengan detik
jam dinding yang gagu karena habis daya.
***
Sampai pada halaman kedua
suratmu, kamu yakin dia akan paham, atau setidaknya setengah memahami, betapa
sulitnya perpisahan yang dilakukan sendirian.
Tidak
ada sepasang mata lain yang mampu meyakinkanmu bahwa ini memang sudah usai.
Tidak ada kata atau langkah kaki beranjak pergi yang mampu menjadi penanda
dramatis bahwa sebuah akhir telah diputuskan bersama.
Atau
sebaliknya, tidak ada sergahan yang membuatmu berubah pikiran, tidak ada kata “jangan”
yang mungkin apabila diucapkan dan ditindakkan dengan tepat akan membuatmu
menghambur kembali dan tak mau pergi lagi.
Kamu
pun tersadar, itulah perpisahan paling sepi yang pernah kamu alami.
***
Ketika surat itu tiba
dititiknya yang terakhir, masih akan ada sejumput kamu yang bertengger tak mau
pergi dari perbatasan usai dan tidak usai. Bagian dari dirimu yang merasa paling
bertanggung jawab atas semua yang sudah kalian bayarkan bersama demi mengalami
perjalanan hati sedahsyat itu.
Dirimu yang
mini, tapi keras kepala, memilih untuk tidak ikut pergi bersama yang lain,
menetap untuk terus menemani sejarah. Dan karena waktu semakin larut, tenagamu
pun sudah menyurut, maka kamu akan membiarkan si kecil itu bertahan semaunya.
Mungkin,
suatu saat, apabila sekelumit dirimu itu mulai kesepian dan bosan, ia akan
berteriak ingin pulang. Dan kamu akan menjemputnya, lalu mebiarkan sejarah
membentengi dirinya dengan tembok tebal yang tak lagi bisa ditembus. Atau
mungkin, ketika sebuah keajaiban mampu menguak kekeruhan ini, jadilah ia
semacam mercu suar, kompas, atau bintang selatan.. yang menunjukkan jalan
pulang bagi hatimu untuk, akhirnya, menemuiku.
***
Aku, yang merasakan apa
yang kau rasakan. Yang mendamba untuk mengalami. Aku yang telah menuliskan
surat-surat cinta kepadamu. Surat-surat yang tak pernah sampai.
(Karya Dewi “Dee” Lestari
(2001))
Jogja, 20 Mei 2012