Hari ini, sebelas hari
semenjak kepergiannya dari dunia ini...
Beberapa jam sebelum burung besi membawaku lepas landas meninggalkan kota tempat aku dibesarkan ini...
Beberapa jam sebelum burung besi membawaku lepas landas meninggalkan kota tempat aku dibesarkan ini...
Hampir sebulan yang lalu, ketika aku harus
tergesa-gesa dengan perasaan cemas tidak karuan mendatangi Airport di kota yang
sudah kutinggali selama 2 tahun ini. Airport sebagai tempat yang selama ini
kubenci ternyata hari ini berbaik hati padaku dengan membiarkanku lolos dari
pintu check in dengan nama di tiket yang sama sekali tidak ada hubungannya
dengan nama depan, tengah, maupun nama akhirku. Ini darurat, dan Tuhan ternyata
sudah menset Airport dan segala perangkatnya untuk mengerti aku.
Yang bisa
kulakukan setelah mendengar berita bahwa ia harus masuk di salah satu sudut
tergenting di rumah sakit hanyalah berdoa dan terus bertanya-tanya dalam hati
bagaimana keadaannya saat ini, tanpa berani memastikan sendiri walau sebenarnya
aku bisa melakukannya saat itu juga dengan menghubungi mama di seberang sana lewat telepon, tapi aku
tidak melakukannya, selain karena aku sudah bisa menebak jawaban mama yang
selalu menghapus kekhawatiran dengan mengatakan bahwa semua baik-baik saja, aku
pun ternyata masih seperti dulu, terlalu takut menerima kenyatan. Kekalutan
terus menyelubung disekitarku melebihi dinginnya tiupan angin malam saat itu.
Tuhan Maha Baik, Ia tahu aku mungkin tidak akan sanggup melewati perjalanan jauh
ini seorang diri dalam kondisi yang seperti ini, dikirimkannya kakakku ke kota
ini sejak beberapa hari yang lalu untuk suatu alasan yang mungkin terlihat
kebetulan bagi orang lain, tapi tidak bagiku, aku percaya untuk alasan inilah
Tuhan mengirimkannya, untuk menemani perjalanan pulangku, meski di sepanjang
jalan kami lebih banyak membisu, namun diam sudah cukup untuk menggambarkan
kegelisahan kami masing-masing, tanpa perlu ditambah dengan kata-kata lagi.
Tidak
seperti pada kepulanganku sebelumnya, yang menjadikan pintu rumah sebagai garis
finish terindahku setiap kali kembali ke kampung halaman ini. Pukul 3 dini hari
pintu ruang tergenting itulah yang menjadi tujuan kami berlari sesampainya disana. Ia sadar akan kedatanganku,
mengangguk-angguk tanda mengerti apa yang kuucap, kukatakan padanya sambil tersenyum
bahwa semua akan baik-baik saja dan sebentar lagi ia pasti akan sembuh, ia mengangguk.
Namun keesokan harinya, ia melewati hari dengan lebih banyak memejamkan mata, dan
mereka bilang itu koma.
Tiba-tiba saja
ingin rasanya aku menjadi seorang dokter, suatu profesi yang selama ini paling tidak kuminati karena tidak
tahan mental untuk menghadapi berbagai penyakit yang diderita oleh orang-orang,
tapi kali ini aku sungguh berandai-andai menjadi seorang dokter, lengkap dengan
gelar Sp. S dibelakang namaku agar aku tahu cara terbaik untuk mengobatinya,
andai. Stroke itu, merusak 12 saraf
kranial yang bertumpu pada batang otaknya, sempat terbayang olehku, tanpa 12
saraf yang amat penting itu apa jadinya hidupnya kelak, dokter bilang
obat-obatan mungkin akan bisa menghidupkan kembali saraf-saraf krusial itu,
tapi mungkin akan butuh waktu lama, dan satu lagi, sulit.
Beberapa
hari mata itu kembali terbuka melihat dunia, meski masih lebih sering dihabiskan
untuk tidur oleh pemiliknya, tak kuasa melawan pengaruh obat mungkin. Jika pagi
tiba, ia selalu membuka mata, termasuk di pagi Hari Raya Idul Fitri ini. Kepadanya
kuulangi kebiasaanku setiap harinya untuk menceritakan banyak hal disampingnya,
tentang kuliahku, tentang pohon rambutan yang kutanam bersamanya di halaman
rumah, tentang keluarga besar, tentang bintang yang suka kulihat, tentang
nada-nada doremifasolasido yang diperkenalkannya sejak aku masih berusia 5
tahun, tentang rencanaku untuk memperdalam bahasa Inggris di Kampung Pare
seperti yang pernah diharapkannya, “mungkin sekarang masih belum sempat, tapi
suatu hari kamu harus belajar kesana” katanya dulu, tentang kalimat yang
menyatakan bahwa aku sangat menyayanginya yang
sebelumnya amat jarang kuuucap, dan tentang banyak hal lainnya, termasuk
syukurku untuk lebaran yang masih utuh dengan seluruh keluarga di tahun ini,
kali ini meski harus ditempat ini, tanpa perduli lagi pada warna warni kembang
api lebaran diluar sana. Aku masih bersamanya sudah cukup, dan aku percaya ia
mendengar setiap kalimat yang kuucap.
Langkahku
selalu melambat setiap kali akan memasuki ruang tempat dimana alat-alat
kesehatan dan para petugas kesehatan mondar-mandir selama 24 jam memantau
keadaannya. Nada-nada yang terdengar dari monitor pendeteksi detak jantung yang
ada di ruangan ini benar-benar membuat dadaku sesak dan ingin menutup telinga
rapat-rapat, ialah nada penanda kehidupan seseorang yang seolah sedang
menggantung pada seutas benang atau semacamnya. Nada itu, bagiku justru
terdengar seolah mengancam, ada perasaan seakan tak terima kenapa ia harus
dipasangi alat pendeteksi kehidupan seperti ini, ia akan terus hidup, kataku di
dalam hati. Ternyata ini rasanya, menatap
orang yang kita sayang tengah berbaring dengan hidupnya yang bahkan harus dipantau
setiap saat oleh alat-alat yang menempel dan bahkan mendominasi separuh
tubuhnya. Udara dari tabung oksigen yang mengintervensi nafasnya dan berbagai
macam cairan kimia yang menginjeksi tubuhnya setiap beberapa jam sekali itupun
tetap tidak bisa memberikan semacam jaminan untuk ia bisa pulih seperti sedia
kala. Hingga tiba saatnya, aku dan mereka harus belajar menerima bahwa inilah
jalan terbaik yang Tuhan pilihkan.
Dad, thanks for being
the best father in the whole universe for me.
. . . .
Dulu sekali dia pernah bilang padaku bahwa menangis untuk seseorang itu tandanya sayang. Ya you’re right, I love you Bapak, so much.
Dulu sekali dia pernah bilang padaku bahwa menangis untuk seseorang itu tandanya sayang. Ya you’re right, I love you Bapak, so much.
Tanjung, 03 September
2012.