Laman


Kamis, 06 September 2012

Thanks For Being The Best Father in The Whole Universe For Me


Hari ini, sebelas hari semenjak kepergiannya dari dunia ini...
Beberapa jam sebelum burung besi membawaku lepas landas meninggalkan kota tempat aku dibesarkan ini...

                 Hampir sebulan yang lalu, ketika aku harus tergesa-gesa dengan perasaan cemas tidak karuan mendatangi Airport di kota yang sudah kutinggali selama 2 tahun ini. Airport sebagai tempat yang selama ini kubenci ternyata hari ini berbaik hati padaku dengan membiarkanku lolos dari pintu check in dengan nama di tiket yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan nama depan, tengah, maupun nama akhirku. Ini darurat, dan Tuhan ternyata sudah menset Airport dan segala perangkatnya untuk mengerti aku.

Yang bisa kulakukan setelah mendengar berita bahwa ia harus masuk di salah satu sudut tergenting di rumah sakit hanyalah berdoa dan terus bertanya-tanya dalam hati bagaimana keadaannya saat ini, tanpa berani memastikan sendiri walau sebenarnya aku bisa melakukannya saat itu juga dengan menghubungi  mama di seberang sana lewat telepon, tapi aku tidak melakukannya, selain karena aku sudah bisa menebak jawaban mama yang selalu menghapus kekhawatiran dengan mengatakan bahwa semua baik-baik saja, aku pun ternyata masih seperti dulu, terlalu takut menerima kenyatan. Kekalutan terus menyelubung disekitarku melebihi dinginnya tiupan angin malam saat itu. Tuhan Maha Baik, Ia tahu aku mungkin tidak akan sanggup melewati perjalanan jauh ini seorang diri dalam kondisi yang seperti ini, dikirimkannya kakakku ke kota ini sejak beberapa hari yang lalu untuk suatu alasan yang mungkin terlihat kebetulan bagi orang lain, tapi tidak bagiku, aku percaya untuk alasan inilah Tuhan mengirimkannya, untuk menemani perjalanan pulangku, meski di sepanjang jalan kami lebih banyak membisu, namun diam sudah cukup untuk menggambarkan kegelisahan kami masing-masing, tanpa perlu ditambah dengan kata-kata lagi.

                Tidak seperti pada kepulanganku sebelumnya, yang menjadikan pintu rumah sebagai garis finish terindahku setiap kali kembali ke kampung halaman ini. Pukul 3 dini hari pintu ruang tergenting itulah yang menjadi tujuan kami berlari sesampainya disana.  Ia sadar akan kedatanganku, mengangguk-angguk tanda mengerti apa yang kuucap, kukatakan padanya sambil tersenyum bahwa semua akan baik-baik saja dan sebentar lagi ia pasti akan sembuh, ia mengangguk. Namun keesokan harinya, ia melewati hari dengan lebih banyak memejamkan mata, dan mereka bilang itu koma.

Tiba-tiba saja ingin rasanya aku menjadi seorang dokter, suatu profesi yang  selama ini paling tidak kuminati karena tidak tahan mental untuk menghadapi berbagai penyakit yang diderita oleh orang-orang, tapi kali ini aku sungguh berandai-andai menjadi seorang dokter, lengkap dengan gelar Sp. S dibelakang namaku agar aku tahu cara terbaik untuk mengobatinya, andai.  Stroke itu, merusak 12 saraf kranial yang bertumpu pada batang otaknya, sempat terbayang olehku, tanpa 12 saraf yang amat penting itu apa jadinya hidupnya kelak, dokter bilang obat-obatan mungkin akan bisa menghidupkan kembali saraf-saraf krusial itu, tapi mungkin akan butuh waktu lama, dan satu lagi, sulit.

                Beberapa hari mata itu kembali terbuka melihat dunia, meski masih lebih sering dihabiskan untuk tidur oleh pemiliknya, tak kuasa melawan pengaruh obat mungkin. Jika pagi tiba, ia selalu membuka mata, termasuk di pagi Hari Raya Idul Fitri ini. Kepadanya kuulangi kebiasaanku setiap harinya untuk menceritakan banyak hal disampingnya, tentang kuliahku, tentang pohon rambutan yang kutanam bersamanya di halaman rumah, tentang keluarga besar, tentang bintang yang suka kulihat, tentang nada-nada doremifasolasido yang diperkenalkannya sejak aku masih berusia 5 tahun, tentang rencanaku untuk memperdalam bahasa Inggris di Kampung Pare seperti yang pernah diharapkannya, “mungkin sekarang masih belum sempat, tapi suatu hari kamu harus belajar kesana” katanya dulu, tentang kalimat yang menyatakan bahwa aku sangat menyayanginya yang  sebelumnya amat jarang kuuucap, dan tentang banyak hal lainnya, termasuk syukurku untuk lebaran yang masih utuh dengan seluruh keluarga di tahun ini, kali ini meski harus ditempat ini, tanpa perduli lagi pada warna warni kembang api lebaran diluar sana. Aku masih bersamanya sudah cukup, dan aku percaya ia mendengar setiap kalimat yang kuucap.

                Langkahku selalu melambat setiap kali akan memasuki ruang tempat dimana alat-alat kesehatan dan para petugas kesehatan mondar-mandir selama 24 jam memantau keadaannya. Nada-nada yang terdengar dari monitor pendeteksi detak jantung yang ada di ruangan ini benar-benar membuat dadaku sesak dan ingin menutup telinga rapat-rapat, ialah nada penanda kehidupan seseorang yang seolah sedang menggantung pada seutas benang atau semacamnya. Nada itu, bagiku justru terdengar seolah mengancam, ada perasaan seakan tak terima kenapa ia harus dipasangi alat pendeteksi kehidupan seperti ini, ia akan terus hidup, kataku di dalam hati.  Ternyata ini rasanya, menatap orang yang kita sayang tengah berbaring dengan hidupnya yang bahkan harus dipantau setiap saat oleh alat-alat yang menempel dan bahkan mendominasi separuh tubuhnya. Udara dari tabung oksigen yang mengintervensi nafasnya dan berbagai macam cairan kimia yang menginjeksi tubuhnya setiap beberapa jam sekali itupun tetap tidak bisa memberikan semacam jaminan untuk ia bisa pulih seperti sedia kala. Hingga tiba saatnya, aku dan mereka harus belajar menerima bahwa inilah jalan terbaik yang Tuhan pilihkan.

Dad, thanks for being the best father in the whole universe for me.
. . . .
Dulu sekali dia pernah bilang padaku bahwa menangis untuk seseorang itu tandanya sayang. Ya you’re right, I love you Bapak, so much.

Tanjung, 03 September 2012.

The Way You Learn How to Accept


Seperti orang pada umumnya, setiap malam kamu selalu tidur, tidur lelap, tak perduli apakah tidurmu memenuhi standar kuantitas dan kualitas tidur orang di dunia ini pada umumnya atau kah tidak. Kamu terlalu terlelap memaknai tidur bagi dirimu sendiri.


 Tidur bagimu adalah persembunyian yg paling aman, persembunyian dari kenyataan yang terus mengejar.  Kamu tahu, kenyataan tidak selalu mampu menjadi teman yang baik, menemanimu berjalan sesuai langkah yang bisa kamu jejak, kadang ia berlari, dan kamu lelah, lalu tidur mnjadi satu-satunya tempat kamu melupakan segalanya untuk sejenak, semacam dimensi lain yang bisa dijadikan sebagai markas persembunyian yg paling aman.  Sampai beberapa saat kemudian kamu harus bangun, untuk kenyataan.


Kamu rapatkan lagi kepalamu dengan bantal, seolah memaksanya untuk menina bobokan dirimu agar kamu bisa tertidur, kamu pejamkan matamu membunuh insomnia, kamu hanya ingin tidur, sebentar pun tak mengapa. Batinmu butuh tidur, melebihi kebutuhan tubuhmu sendiri untuk itu. Meski kamu tahu, bahwa tidur tidak selalu menjanjikan ketenangan, kadang kamu harus memainkan peran menghadapi hal yang menakutkan atau hal paling menyedihkan yang tidak bisa kamu bayangkan bila benar-benar terjadi dalam hidup nyatamu. Namun sejak awal kamu mengerti  bahwa tidur adalah tempat yang paling aman, semua yg menakutkan dan menyedihkan hanyalah kamuflase, kamu terbangun dan masih bisa bersyukur bahwa itu hanyalah mimpi buruk, kamu bisa menghentikan kehidupan di alam tidurmu ketika kamu akan memulai hari nyatamu.


Hingga suatu malam, kamu mengalami hal menakutkan lagi, hal menyedihkan lagi, dan kamu berusaha keras untuk bangun, atau setidaknya berharap ada seseorang yg berbaik hati membangunkanmu dari mimpi buruk ini meski ayam jantan bahkan belum memberi salam pada matahari. Tidak ada yang berubah, tidak ada ambang kesadaran yang kamu lewati seperti jika kamu baru terbangun dari tidurmu. Dan akhirnya kamu sadar bahwa kamu tidak sedang tidur, tiada siapapun yang perlu untuk dibangunkan, kamu tidak sedang berada pada persembunyianmu yang paling aman itu, ya, kali ini kamu tidak tidur, kamu tidak sedang bermimpi buruk, ini nyata, kamu.. sedari tadi sedang mencoba berdamai dengan kenyataan..


Tidur, kamu ingin tidur, kamu ingin pergi ke ruang yang mungkin memang paling aman, tapi hanya mampu sesaat saja menyembunyikanmu dari kenyataan. Sampai akhirnya kamu sadar bahwa tidur ataupun tidak, tidak ada pilihan terbaik selain berdamai dengan kenyataan. That's the way you learn how to accept the reality.


Tanjung, 27 agustus 2012