Laman


Senin, 11 Februari 2013

“Akan kudengarkan, sampai dimanapun chapternya”



Di sore yang gerimis itu, sepulang bernostalgia di sekolah masa lalu, rombongan anak muda yang sudah lama tidak saling bertemu itu mulai kembali memisahkan diri. Beberapa memilih pulang ke rumah mereka masing-masing, sementara dua orang makhluk ini menghentikan motor mereka di deretan warung sederhana di taman kota yang tidak jauh dari sekolah masa lalu mereka itu, seperti belum habis melepas rindu. Aku dan kamu, itulah mereka.

Aku memilih sepiring batagor, dan aku tahu jika pergi ke tempat ini kamu pasti mencari bakso ceker, makanan  yang entah sejak kapan menjadi makanan favoritmu itu, yang aku tahu kamu hendak melepas rindu dengannya layaknya melepas rindu dengan seorang kawan lama seperti yang sedang kamu lakukan sekarang.

                Seperti dua orang kembar yang terpisah 10 tahun lamanya, kita bernostalgia membuka cerita-cerita lama, berbicara tentang masa-masa sekolah dan kuliah yang sedang kita jalani sekarang, tentang “kambink” tokoh yang ada dalam buku cerita hidupmu, dan tentang banyak hal lainnya. Kadang kita terlalu menggebu-gebu, sampai beberapa orang memperhatikan kita seolah kita ini adalah alien yang sedang asik bermain di planet bumi, dengan bahasa yang barangkali  hanya kita berdua saja yang paham, biarkan saja.

                “Jangan berubah ya” katamu sedikit serius di sela-sela obrolan kita pada hari itu.

                “Jangan berubah bagaimana?” tanyaku bingung mengenai perubahan apa yang dimaksudkan oleh orang dihadapanku itu.

                “Jangan berubah,  jangan lupakan kawan” jawabmu seperti seorang pelaut yang baru saja dikalahkan oleh gelombang dahsyat ditengah lautan luas bernama persahabatan, seolah aku adalah teluk tenang tempat kamu berharap untuk tidak menemukan gelombang dahsyat yang menerjang. Tanpa kamu sadari, kamu sendiri adalah salah satu  inspirasi bernilai tinggi yang aku temukan, pelaut yang datang dan membuat lukisan pasir dengan jejak langkahmu diatas pantaiku, menetap berkawan, mendirikan mercusuar hingga aku menjadi terang saat malam datang.

                “Aku tidak berubah, kalaupun nanti aku berubah dan mulai melenceng  ke arah yang salah, tugasmu adalah mengingatkanku. Ingat ya, teman menusuk dari belakang, tapi sahabat akan menampar dari depan...” jawabku sambil tersenyum.

                “Hehe.. sepakat, ingatkan aku juga yaa..”

                “Sip”

            “janji ?” tanyamu menawarkan perjanjian sambil menyodorkan jari kelingking kananmu dihadapanku.

            “Janji”  jawabku  mantap  menyetujui perjanjian kelingking itu, perjanjian yang sudah saling dimengerti tanpa perlu hitam di atas putih lagi.

                Kamu bercerita lagi, seolah stok buku ceritamu selalu tersedia dan tidak pernah habis dalam gudang cerita kehidupanmu. Itu, stok ceritamu itu yang selalu kurindukan, dari seorang kamu yang selama ini lebih pandai menuangkan bahagiamu, kesalmu, sedihmu, hingga kamu tetap mampu berdiri seimbang, tanpa menumpuk dan memenjarakannya dalam diri kamu, membiarkannya lepas agar terlepas, karena kamu adalah satu makhluk pecinta kebebasan. 

“Gantian kamu yang cerita” pintamu setelah selesai bercerita tentang kambink, satu tokoh ajaib yang sudah lama kukenal dalam buku cerita klasikmu.

                “Tidak ada yang perlu diceritakan” kataku sambil sibuk dengan batagor dihadapanku.

                “Ayolah, cerita saja..” desakmu. Aku terdiam sebentar, selain karena aku masih saja tidak bisa seperti kamu yang pandai mengaplikasikan konsep lepas agar terlepas, ada suatu hal yang kukhawatirkan, entah karena belum atau mungkin malah lupa kumengerti sebagai seorang sahabat.

                “Kamu pasti sudah bosan mendengarnya” jawabku sambil tersenyum.

                “Enggak! ” buru-buru kamu menyangkal ucapanku, air mukamu sedikit berubah, mungkin kamu tidak terima, dan seperti ada sesuatu yang ingin kamu terangkan padaku.

                “Iya, mungkin kamu sudah bosan...” kataku lagi.

“Bukannya aku kan yang selama ini sering nanya duluan ke kamu tentang cerita kamu?” tanyamu, aku mengangguk perlahan. Ya, kamu benar, lalu bagaimana bisa aku mengira kamu bosan dan tidak lagi mau mendengarkan.

                “Memangnya kamu bosan ya mendengar ceritaku yang sama selama lima tahun waktu itu?” tanyamu lagi. Aku memutar sejenak lima tahun yang kamu maksud itu dalam pikiranku,  saat kamu memperdengarkan salah satu isi ceritamu yang sempat stagnan pada suatu chapter selama lima tahun karena kamu belum bisa menulis cerita pada chapter selanjutnya, pada saat itu sungai inspirasimu berhenti mengalir, tapi saat ini aku ingin kamu tahu bahwa bukan kamu seorang saja yang pernah merasakannya. 

“Enggak..” jawabku menggeleng, karena seingatku aku memang tidak bosan sama sekali dengan cerita yang kamu perdengarkan itu, justru selalu kutunggu-tunggu. Aku seperti baru tersadar akan sesuatu.
“Nah, aku juga enggak. Itulah gunanya sahabat, mendengarkan sahabatnya yang lain, apapun ceritanya, sampai dimanapun chapternya”  Kamu seolah melaunching best quotes terbarumu tentang persahabatan, simple, tapi mengena, dan aku berjanji untuk mencatatnya baik-baik dalam lembaran memoriku.

“Aku cuma khawatir kamu merasa bosan mendengarkanku dengan cerita yang masih sama, yang aku sendiri nggak tau kapan akan berganti bagian.  Kamu sudah terlalu banyak mendengarkan dan menunjukkan jalan, tapi sampai saat inipun aku masih berdiri di tempat yang sama, masih menulis cerita pada chapter yang sama... ” kataku mengeluarkan apa yang harusnya kukeluarkan, lepas agar terlepas, seperti yang selama ini kamu lakukan.

“Enggak, sama sekali enggak. Ceritakanlah sampai dimanapun chapter kamu, kamu tidak perlu menghindari dan menyembunyikannya seperti itu” katamu bersungguh-sungguh.

“Serius...?” tanyaku pelan-pelan. Kamu mengangguk mantap.

“Terima kasih, terima kasih karena sudah mengerti” kataku. Kamu mengangguk sambil tersenyum, kamu selalu berhasil memahami seperti biasanya, sejak dulu. Obrolan di sore hari itupun berlanjut kembali, seiring dengan sisa-sisa gerimis yang tetap enggan berubah menjadi hujan bahkan hingga senjapun datang.

Ya, seorang sahabat itu mendengarkan. Namun ia tahu bahwa ia bukan mendengarkan cerita khayal yang diperankan oleh Rapunzel, Peterpan, atau Tinker Bell dalam cerita khayal yang habis sekali baca yang selalu berganti dari cerita satu ke cerita lainnya. Ia mendengarkan cerita hidup, cerita hidup yang diperankan oleh anak manusia, cerita hidup yang tidak bisa ditebak setiap bagiannya bahkan pula ujung ceritanya. Dan ia paham, beberapa lembaran atau mungkin banyak lembaran dalam buku cerita itu mungkin memang masih berada dalam satu chapter yang sama, namun ia akan tetap mendengarkan, karena itu adalah bagian dari cerita hidup sahabatnya.



Didedikasikan untuk salah seorang sahabat terbaik saya, Dewi Rosani.

 Tanjung, 01 Februari 2013