Di sore yang
gerimis itu, sepulang bernostalgia di sekolah masa lalu, rombongan anak muda
yang sudah lama tidak saling bertemu itu mulai kembali memisahkan diri.
Beberapa memilih pulang ke rumah mereka masing-masing, sementara dua orang makhluk
ini menghentikan motor mereka di deretan warung sederhana di taman kota yang
tidak jauh dari sekolah masa lalu mereka itu, seperti belum habis melepas rindu.
Aku dan kamu, itulah mereka.
Aku memilih
sepiring batagor, dan aku tahu jika pergi ke tempat ini kamu pasti mencari
bakso ceker, makanan yang entah sejak
kapan menjadi makanan favoritmu itu, yang aku tahu kamu hendak melepas rindu
dengannya layaknya melepas rindu dengan seorang kawan lama seperti yang sedang
kamu lakukan sekarang.
Seperti
dua orang kembar yang terpisah 10 tahun lamanya, kita bernostalgia membuka cerita-cerita
lama, berbicara tentang masa-masa sekolah dan kuliah yang sedang kita jalani
sekarang, tentang “kambink” tokoh yang ada dalam buku cerita hidupmu, dan tentang
banyak hal lainnya. Kadang kita terlalu menggebu-gebu, sampai beberapa orang
memperhatikan kita seolah kita ini adalah alien yang sedang asik bermain di
planet bumi, dengan bahasa yang barangkali
hanya kita berdua saja yang paham, biarkan saja.
“Jangan
berubah ya” katamu sedikit serius di sela-sela obrolan kita pada hari itu.
“Jangan
berubah bagaimana?” tanyaku bingung mengenai perubahan apa yang dimaksudkan
oleh orang dihadapanku itu.
“Jangan
berubah, jangan lupakan kawan” jawabmu
seperti seorang pelaut yang baru saja dikalahkan oleh gelombang dahsyat
ditengah lautan luas bernama persahabatan, seolah aku adalah teluk tenang
tempat kamu berharap untuk tidak menemukan gelombang dahsyat yang menerjang.
Tanpa kamu sadari, kamu sendiri adalah salah satu inspirasi bernilai tinggi yang aku temukan, pelaut
yang datang dan membuat lukisan pasir dengan jejak langkahmu diatas pantaiku, menetap berkawan, mendirikan mercusuar
hingga aku menjadi terang saat malam datang.
“Aku
tidak berubah, kalaupun nanti aku berubah dan mulai melenceng ke arah yang salah, tugasmu adalah
mengingatkanku. Ingat ya, teman menusuk dari belakang, tapi sahabat akan
menampar dari depan...” jawabku sambil tersenyum.
“Hehe..
sepakat, ingatkan aku juga yaa..”
“Sip”
“janji
?” tanyamu menawarkan perjanjian sambil menyodorkan jari kelingking kananmu
dihadapanku.
“Janji” jawabku mantap menyetujui perjanjian kelingking itu, perjanjian yang sudah saling dimengerti tanpa perlu hitam di atas putih lagi.
Kamu
bercerita lagi, seolah stok buku ceritamu selalu tersedia dan tidak pernah
habis dalam gudang cerita kehidupanmu. Itu, stok ceritamu itu yang selalu
kurindukan, dari seorang kamu yang selama ini lebih pandai menuangkan
bahagiamu, kesalmu, sedihmu, hingga kamu tetap mampu berdiri seimbang, tanpa
menumpuk dan memenjarakannya dalam diri kamu, membiarkannya lepas agar terlepas,
karena kamu adalah satu makhluk pecinta kebebasan.
“Gantian kamu
yang cerita” pintamu setelah selesai bercerita tentang kambink, satu tokoh
ajaib yang sudah lama kukenal dalam buku cerita klasikmu.
“Tidak
ada yang perlu diceritakan” kataku sambil sibuk dengan batagor dihadapanku.
“Ayolah,
cerita saja..” desakmu. Aku terdiam sebentar, selain karena aku masih saja
tidak bisa seperti kamu yang pandai mengaplikasikan konsep lepas agar terlepas,
ada suatu hal yang kukhawatirkan, entah karena belum atau mungkin malah lupa
kumengerti sebagai seorang sahabat.
“Kamu
pasti sudah bosan mendengarnya” jawabku sambil tersenyum.
“Enggak!
” buru-buru kamu menyangkal ucapanku, air mukamu sedikit berubah, mungkin kamu tidak
terima, dan seperti ada sesuatu yang ingin kamu terangkan padaku.
“Iya,
mungkin kamu sudah bosan...” kataku lagi.
“Bukannya aku
kan yang selama ini sering nanya duluan ke kamu tentang cerita kamu?” tanyamu,
aku mengangguk perlahan. Ya, kamu benar, lalu bagaimana bisa aku mengira kamu
bosan dan tidak lagi mau mendengarkan.
“Memangnya
kamu bosan ya mendengar ceritaku yang sama selama lima tahun waktu itu?”
tanyamu lagi. Aku memutar sejenak lima tahun yang kamu maksud itu dalam
pikiranku, saat kamu memperdengarkan salah
satu isi ceritamu yang sempat stagnan pada suatu chapter selama lima tahun
karena kamu belum bisa menulis cerita pada chapter selanjutnya, pada saat itu sungai inspirasimu berhenti mengalir, tapi saat ini aku ingin kamu tahu bahwa bukan
kamu seorang saja yang pernah merasakannya.
“Enggak..”
jawabku menggeleng, karena seingatku aku memang tidak bosan sama sekali dengan
cerita yang kamu perdengarkan itu, justru selalu kutunggu-tunggu. Aku seperti
baru tersadar akan sesuatu.
“Nah, aku juga
enggak. Itulah gunanya sahabat, mendengarkan sahabatnya yang lain, apapun
ceritanya, sampai dimanapun chapternya”
Kamu seolah melaunching best quotes terbarumu tentang persahabatan,
simple, tapi mengena, dan aku berjanji untuk mencatatnya baik-baik dalam
lembaran memoriku.
“Aku cuma khawatir
kamu merasa bosan mendengarkanku dengan cerita yang masih sama, yang aku
sendiri nggak tau kapan akan berganti bagian. Kamu sudah terlalu banyak mendengarkan dan
menunjukkan jalan, tapi sampai saat inipun aku masih berdiri di tempat yang
sama, masih menulis cerita pada chapter yang sama... ” kataku mengeluarkan apa
yang harusnya kukeluarkan, lepas agar terlepas, seperti yang selama ini kamu lakukan.
“Enggak, sama
sekali enggak. Ceritakanlah sampai dimanapun chapter kamu, kamu tidak perlu
menghindari dan menyembunyikannya seperti itu” katamu bersungguh-sungguh.
“Serius...?”
tanyaku pelan-pelan. Kamu mengangguk mantap.
“Terima kasih,
terima kasih karena sudah mengerti” kataku. Kamu mengangguk sambil tersenyum,
kamu selalu berhasil memahami seperti biasanya, sejak dulu. Obrolan di sore hari itupun berlanjut
kembali, seiring dengan sisa-sisa gerimis yang tetap enggan berubah menjadi
hujan bahkan hingga senjapun datang.
Ya, seorang sahabat
itu mendengarkan. Namun ia tahu bahwa ia bukan mendengarkan cerita khayal yang diperankan oleh
Rapunzel, Peterpan, atau Tinker Bell dalam cerita khayal yang habis sekali baca
yang selalu berganti dari cerita satu ke cerita lainnya. Ia mendengarkan cerita hidup, cerita hidup yang diperankan oleh anak manusia, cerita hidup yang tidak
bisa ditebak setiap bagiannya bahkan pula ujung ceritanya. Dan ia paham, beberapa
lembaran atau mungkin banyak lembaran dalam buku cerita itu mungkin memang
masih berada dalam satu chapter yang sama, namun ia akan tetap mendengarkan,
karena itu adalah bagian dari cerita hidup sahabatnya.
Didedikasikan untuk salah seorang sahabat terbaik saya, Dewi Rosani.
Tanjung, 01 Februari 2013