Laman


Rabu, 19 November 2014

HELLO, SELAMAT BERTEMU LAGI



“Heh, Kembalikan sepatuku !” Teriak seorang gadis kecil di sela keramaian kelasnya di jam pelajaran yang saat itu sedang kosong. Seorang bocah lelaki kecil penghuni kelas yang sama bukannya mengembalikan, malah melempar-lempar sepatunya kesana-kemari sambil menjulurkan lidahnya memancing amarah. Gadis kecil itu geram bukan kepalang. Menyeruak keramaian anak-anak lainnya, melompati kursi dan meja, dikejarnya bocah lelaki yang membawa sebelah sepatunya. Si bocah lelaki semakin berlari tak terkendali, ke tengah, kesudut, hingga ke luar ruangan seraya tertawa penuh kemenangan menggondol sebelah sepatu layaknya sebuah piala.

Si gadis kecil duduk diatas kursi sambil satu demi satu menyusun nafasnya yang berantakan, tertunduk, lalu segalanya tiba-tiba menghitam. Kekesalan, kejengkelan, kemarahan, dan entah apalagi itu namanya yang menyesakkan, tiba-tiba menjadi satu dan mengalir dari hati yang kemudian bermuara di pelupuk mata, bertransformasi menjadi sebulir air  yang buru-buru ia hapus sebelum ada orang lain yang melihat. Ditengadahkannya kembali wajahnya, didapatinya bocah lelaki itu disalah satu sudut ruangan, sedang menatapnya tanpa sedikitpun rasa bersalah, sesekali tertawa mengejek, belum mau mengakhiri peperangan konyol itu.

“Saya benci kamu !”  teriak gadis itu.
***

2 tahun kemudian…

“Halo pendek.” Sebaris kalimat terbaca di layar handphone gadis yang beranjak remaja itu dari nomor yang tidak dikenal.
“Siapa ini? Darimana tahu nomor saya?”
“Hahaha. Tidak bisa mengenali saya? Saya dapat nomor kamu dari Tito.” Gadis itu mengernyitkan kening sejenak. Tito? Tito adalah teman sekelasnya di sekolah sebelumnya. Dan selama mereka kenal, setahunya Tito hanya memiliki satu teman akrab,  dan itu adalah…. Gadis itu menghela nafas panjang, tak lagi bertanya-tanya. Ia tahu betul siapa pemilik nomor itu. Tidak salah lagi, itu pasti si pencuri sepatu. Ini mungkin akan menjadi serangan ke sekian setelah 2 tahun mereka tidak lagi berjumpa karena tempat menuntut ilmu yang tak lagi sama.
“Ada apa, pendek?” dibalasnya pesan itu.
“Enak aja pendek-pendek, kamu yang pendek.”
“Heh, ngacaa, kamu juga pendek, dan kamu… blablabla…” balas gadis itu lagi. Bocah lelaki itu masih menyebalkan hingga gadis itu mau tak mau harus membalas dengan cara yang tak kalah menyebalkan.

Begitulah. Dan peperangan semacam itu terulang kembali tak jauh beda dengan yang dulu. Wajah bocah lelaki yang dulu seringkali menjulurkan lidah padanya, kali ini terwakilkan dengan emoticon :p di layar kaca. Nada mengejeknya yang dulu khas, kali ini tercetak lewat huruf pada layar kaca yang seolah mengiang-ngiangkan bagaimana kalimat-kalimat itu terucap langsung dari bibirnya. Peperangan itu, kali ini dibungkus dalam bahasa teknologi tanpa menghilangkan esensi ketidakberesan yang telah tertanam diantara mereka sejak 2 tahun lalu. 

Bulan berlalu. Pesan-pesan singkat itu masih berseliweran di udara, tanpa raga yang pernah bersua. Tema dari pesan-pesan itu hampir tiap harinya hanyalah guyonan, ejekan, saling menakuti, dan sebenarnya sah-sah saja untuk sekedar hiburan. Tak perlu ada perjumpaan. Berjumpa kemungkinan besar hanya akan membuat segalanya bertambah runyam.

Hingga suatu hari di sela-sela hari mereka yang baik-baik saja, si bocah lelaki mengirim pesan paling aneh yang isinya menyudutkan dan menyalahkan gadis itu. Si gadis berkerut keningnya ketika membaca pesan, sungguh ia tak tahu gerangan apa yang membuat bocah lelaki itu marah besar padanya, tanpa angin tanpa hujan. Merasa tak salah apapun, si gadis malah balik marah dan melakukan serangan balik. Pada akhirnya ia tahu bahwa bocah lelaki itu memang tak pernah berubah, ia masih tetap orang yang sama menjengkelkan dengan yang pernah ia kenal sejak dulu, suka bertindak semaunya.

Masih tak lepas dari ingatan, dulu pada saat ulangan bahasa Indonesia, bocah lelaki yang saat itu memang duduk tepat dibelakang gadis itu tidak bisa melihat soal dengan jelas sehingga ia harus meminjam lembaran soal padanya. Gadis itu pun meminjamkan. Giliran gadis itu yang tidak bisa melihat soal dengan jelas,   ia pun menoleh kebelakang bermaksud meminjam lembaran soal pada bocah lelaki itu. Tahu apa yang selanjutnya bocah lelaki itu lakukan? Tak disangka dan tak diduga, di tengah suasana ulangan yang tentu saja sepi, tiba-tiba suara cemprengnya itu memenuhi segenap ruangan, “Bu guru, dia mau nyontek jawaban saya !”. Oh God.

Kali ini bocah lelaki itu kembali bertindak semaunya. Si gadis pun tak perduli dan membiarkan bahasa teknologi mereka hancur, ia pun berhak marah, pikirnya. Sejak itu, segalanya berubah. Dan suatu malam, si gadis menatap layar handphonenya, tanpa sadar menunggu kicauan-kicauan tak penting dari bocah lelaki yang biasa mengganggunya, yang membuatnya jengkel namun kadang juga tertawa. Sebenarnya tak ada yang special, tak ada yang istimewa, sama sekali tidak ada. Lalu kini pertanyaannya adalah… kenapa harus ada lubang yang kosong? Kenapa harus ada sesuatu yang rasanya hilang? Kenapa harus ada yang dirindukan? Ia tidak mengerti. Dan betapa tidak adil ketika kehilangan itu harus disertai dengan ketidakmengertian akan apa penyebabnya. Tak ada yang lebih konyol daripada disalahkan untuk kesalahan yang kita tidak tahu apa, dan tak ada yang lebih membingungkan ketika yang menyalahkan tak mau menjelaskannya.

“Saya salah apa?”
“…….”
***

5 tahun kemudian…

                Lima tahun bukanlah kurun waktu yang singkat. Tentu saja banyak hal yang terjadi didalamnya, dalam kehidupan gadis itu yang tak melibatkan bocah lelaki itu serta, dan dalam kehidupan bocah lelaki itu yang tak melibatkan gadis itu pula didalamnya. Mereka resmi hidup sendiri-sendiri dalam planet yang berbeda tanpa pernah berpapasan satu sama lain dalam jalannya revolusi. 

Hari ini, jalur revolusi itu berkata lain. Tanpa sengaja mereka bertemu setelah hampir 7 tahun tak  bertatap muka, setelah 5 tahun tak pernah mencipta bahasa satu sama lain dan pasrah dalam kebekuan tanya yang tak pernah terjawab. Segala ingatan kembali menyusuri lorong masa lalu saat mereka sama-sama diam, tersendat kaku saat sesekali mata bertemu mata. Bagaimanapun sekian tahun yang telah beku tak bisa cair oleh sekejap pertemuan tak disengaja. Selengkung senyum,sedikit tawa, dan secuplik obrolan yang tercipta diantara dua manusia yang beranjak dewasa ini hanyalah atas nama kesamaan almamater belaka, terasa jelas sebagai basa-basi yang tawar. Kenapa harus sekaku ini?

Untuk problematika usang yang entah meninggalkan jejak atau hanya sekedar lewat,  untuk sebuah permintaan dan pemberian maaf agar cukup beralasan, untuk mencairkan kebekuan, mampukah gadis itu kembali mengulang tanya dan mampukah lelaki itu menjelaskan jawaban usangnya?

Parahnya, gadis dan lelaki yang telah dewasa itu sama-sama tidak tahu bagaimana cara memulainya.

Tanjung, 18 November 2014

Jumat, 14 November 2014

ON THE WAY


"Dunia adalah sebuah buku,
dan anda yang tidak melakukan travelling
kemana-mana hanya membaca satu halaman saja."
(Saint Agustine)

           Sesuai dengan kalimat diatas, memperbanyak jumlah halaman buku boleh jadi adalah salah satu alasan kenapa saya gemar sekali bepergian kesana kemari. Travelling atau  jalan-jalan sebenarnya adalah kesukaan yang sangat umum. Siapa yang suka jalan-jalan? Tanyakan itu pada sekelompok orang dan hampir semuanya pasti akan mengacungkan tangan. Tapi berapa banyak orang yang berani menjadikan travelling sebagai prioritas, dimana ia rela menghabiskan uangnya untuk travelling ketimbang untuk membeli baju, tas, atau membeli kebutuhan lainnya? Disaat harus memilih seperti itu, tentu tidak semua orang berani dan sanggup memprioritaskan travelling.

           Kali ini saya ingin menulis tentang salah satu esensi dari travelling selain dari hal-hal yang berkaitan dengan destinasi, sambil mencari tahu esensi-esensi lain dari travelling itu sendiri dari sudut pandang siapapun yang mungkin membaca lalu mengomentari tulisan ini.

         Saya memiliki 2 tai lalat di telapak kaki kanan saya. Waktu kecil, orang-orang sekitar saya meramalkan bahwa kalau sudah besar nanti, saya pasti suka jalan-jalan dan akan sampai pada tempat yang jauh. Entah karena tai lalat itu atau bukan, kenyataannya saya memang tumbuh menjadi orang yang suka wara-wari. Faktor lain yang rasanya lebih ilmiah adalah karena pengaruh gen. Berawal dari sebuah perjalanan jauh, ayah saya akhirnya menjadi seorang perantau yang tinggal jauh dari tempat asalnya. Disisi lain, sampai sekarang Ibu saya adalah orang yang sangat bersemangat jika diajak travelling, katanya untuk menikmati hidup, refreshing agar tidak stress. You don’t need a doctor when you are stress, all you need is a journey. Tanpa pernah membaca quotes populer ini, ternyata ibu saya memiliki persepsi yang hampir sama dengan penulisnya.

          Travelling bukan hanya tentang destinasi atau tempat tujuan yang pada akhirnya dibingkai dalam figura atau di upload di media social dengan gambar yang turut serta memampang wajah kita didalamnya. Terlepas dari itu, travelling adalah tentang apa-apa saja yang dialami dalam perjalanan, sebuah proses dan bukan hanya tujuan akhir dari sebuah perjalanan. What do you really get on the way to your destination guys? 

          Dalam perjalanan, ada banyak orang dan hal baru yang akan kita temukan, yang kita tidak pernah tahu akan membawa pengaruh seperti apa dalam hidup kita ke depan. Pengaruh ini tak selalu dirasakan secara sadar, namun juga secara tak sadar. Artinya hal-hal yang kita temui tanpa disadari bisa saja menciptakan pola pikir baru kita dalam hal apapun. 

          Dalam perjalanan didalam kereta ekonomi malam dari Jogja menuju Bandung, saya bertemu dengan seorang ayah yang harus terpisah dengan keluarganya untuk bekerja di provinsi lain, dengan tersenyum dia menunjukkan foto anak kembarnya yang baru lahir namun kini harus ditinggalkan, demi dompet yang harus diisi, demi hidup yang harus dihidupi. Kami sama-sama duduk diatas lembaran koran yang digelar tepat ditengah-tengah lorong kereta bersama penumpang lain yang juga tidak kebagian tempat duduk (pada waktu itu peraturan tidak seketat sekarang, penumpang masih bisa masuk kereta meskipun tidak kebagian kursi). Di atas lembaran koran itu pula, saya yang tidur sambil menumpukan kepala diatas lutut saya yang terlipat, harus rela terbangun karena pengemis tanpa kaki yang permisi mau lewat, setelah itu harus rela pula dilangkahi ibu-ibu pedagang asongan yang meninggalkan anak-anaknya dirumah tengah malam demi menjajakan barang dagangannya diatas kereta. Ini bukan tentang kenyamanan saya sebagai penumpang yang diganggu, tapi tentang kenyataan hidup sulit mereka yang malam itu terpampang nyata didepan mata.

        Di dalam perjalanan yang lain, saya duduk bersebelahan dengan seorang ibu yang mengeluhkan jatah kursi kereta yang kurang untuk anaknya, sehingga anaknya harus menduduki kursi lain yang sementara memang tak bertuan. Pihak kereta malah memperkeruh keadaan dengan urusan ribet yang harus ditempuh ibu tersebut di stasiun selanjutnya dan blablabla. Karena merasa tidak salah dan justru dirugikan, Ibu tersebut dengan tegas membela diri bahkan menuntut akan membawa masalah ini ke pengadilan jika memang perlu. Alhasil petugas yang tadinya bersikap cukup arrogant pun akhirnya mau minta maaf dan berusaha mencarikan solusi yang cukup masuk akal untuk masalah ini. Belakangan saya tahu bahwa ternyata ibu tersebut teman kuliah Abraham Samad ketua KPK. Orang lain lagi yang duduk disebelah saya berceletuk pelan pada saya “Tuh kena deh ngadepin orang pinter, ga bisa berkutik mereka (petugas KA)”. Saya tersenyum, tapi yang jelas, mau berlatar belakang sebagai orang berpendidikan sekelas Abraham Samad atau bukan, jika memang kita menemukan hal yang harus diperjuangkan memang sudah seharusnya kita berani memperjuangkan.

          Dalam perjalanan lain, pernah saya menyimak percakapan seorang ibu dengan pemuda disampingnya, beliau bercerita bahwa setiap beberapa hari sekali harus bolak balik dari Solo ke Jogja karena anak beliau yang terkena kanker dan dirawat di rumah sakit di Jogja. Beliau bercerita panjang lebar dengan pemuda yang sebelumnya tidak dikenal tersebut, dan pemuda itupun membesarkan hati beliau sambil memberi beberapa informasi mengenai penanganan kanker yang ia tahu. Puluhan cerita lain bisa jadi sedang bertukar antara orang asing satu dengan orang asing lainnya diatas kendaraan yang sama pada waktu itu. Dan saya pikir, menceritakan apa yang sedang kita hadapi kepada orang asing rasanya bukan hal yang buruk, bahkan bisa jadi melegakan untuk mengeluarkan unek-unek. Orang asing tidak pernah mengenal kita sebelumnya, asal apa yang kita ceritakan tidak menyimpang dari yang sebenarnya, bukan tidak mungkin kita justru akan mendapatkan sudut pandang yang lebih objektif. Selain itu, pertemuan itu hanya akan terjadi sekali saja, tak ada citra memalukan atau menyedihkan yang berkepanjangan, toh setelah ini jalan raya yang akan kita tempuh dengan orang tersebut tidaklah sama, begitupun tempat yang kita tuju. Kita kembali berpisah dan selesai sudah.

         Beberapa hal dalam perjalanan memang kadang hanya akan melintas, ia meninggalkan jejak, lalu akan hilang begitu saja, termasuk orang-orang yang kita temui. Setelah bertemu dalam perjalanan, lalu sudah, hanya sampai disitu saja, tinggal pelajarannya saja yang membekas lalu kita bawa pulang. Tapi di zaman yang serba canggih seperti saat ini sebenarnya masing-masing orang bisa saja meneruskan perkenalan singkat tersebut lewat media social dan lain sebagainya. Toh relasi juga cukup penting, dan kita bisa menemukannya dimana saja, bukankah menambah relasi bisa menjadi suatu hal yang menguntungkan? Sebagai mana pepatah lama mengatakan, banyak teman banyak rejeki.

       Travelling memang rasanya akan lebih menyenangkan jika dilakukan bersama teman-teman. Namun harus diakui pula bahwa travelling adalah kegiatan yang cukup menguras fisik, ada saatnya kita akan kelelahan, kalau sudah begitu biasanya sisi egoisme masing-masing orang akan muncul, emosi mudah terpancing, dan bisa memicu keruhnya keadaan antar sesama. Jadi jangan lupa untuk saling mengerti, meredam ego satu sama lain, dan yang jelas menjaga suasana tetap ceria. Bukankah salah satu tujuan dari travelling adalah untuk have fun ?

       Nah, kalau memang kesempatan travelling yang datang nanti menuntut kita untuk menjadi Solo traveller? Pergi sendirian, Why not ? Gambaran sederhana tentang  hal ini sudah saya pertanyakan semenjak masih SMA. Suatu hari saya duduk-duduk diteras kelas di lantai 2 dengan seorang teman, kemudian dia berkata sambil memperhatikan teman saya yang lain yang sedang melintas sendirian dibawah sana. “Kok mau ya dia jalan beli jajan sendirian gitu?”  saya jawab, “Kenapa tidak? Apanya yang salah?”

       Apakah salah jika seseorang berjalan sendirian ditengah keramaian? Dan apakah akan terlihat semakin salah jika seseorang melakukan perjalanan sendirian? Untuk alasan keamanan, mungkin memang masuk akal. Tapi selama kita yakin dan memastikan bahwa jalur yang kita tempuh aman-aman saja, siap mengantisipasi penjahat dengan membawa gunting atau saos cabai pedas untuk disemprotkan ke matanya, mengucap shalawat didalam hati ketika diajak bersalaman agar terhindar dari hipnotis orang yang berniat jahat, tidak turun dari bis dipinggir jalan raya ditengah malam, mempersiapkan mencari info rute yang akan dilewati agar tidak tersesat, rasanya tidak salah juga jika bepergian sendirian. Alasan lain, apakah karena akan terlihat bodoh alias ngah-ngoh? Sepengalaman saya, bepergian sendirian justru menuntut kita untuk bertanya jika memang kebingungan, mencari tahu, dan yang jelas memulai terciptanya sebuah interaksi dengan orang-orang baru, tidak sama halnya dengan bepergian beramai-ramai yang memungkinkan kita untuk membuat percakapan yang hanya terbatas dalam satu kelompok kita saja. Menjadi Solo Traveller, pada akhirnya tidak akan membuat kita benar-benar pergi sendirian karena ada banyak orang lain di sekitar kita, bukan ? hehe.

       Itu sekelumit bagian dari travelling yang ingin saya tulis. Sebuah proses yang bukan hanya sekedar akhir. Adegan yang biasanya justru luput dari bidikan kamera. Sisi yang tak kalah pentingnya dengan destinasi sebagai alasan awal kenapa kita bepergian. Hal-hal seperti itu pula yang saya rasa mendasari para backpacker terkenal Indonesia seperti Elok Dyah Messwati, Nancy Margaretha, Andrei Budiman, Trinity, dan lain-lain, untuk lebih memilih menginap dirumah host ketimbang di hotel, naik kendaraan umum ketimbang mobil carteran, dan hal-hal lain yang rasanya akan lebih memberi pelajaran dengan adanya interaksi dengan masuk langsung dalam lingkaran kehidupan masyarakat. Faktor ekonomis rasanya tidak melulu menjadi alasan, mengingat proses dari sebuah perjalanan juga mampu memberi kekayaan dari sisi yang tak kasat mata.

     Teringat dengan salah satu kalimat yang tertulis di papan iklan sebuah agen travel di salah satu perempatan strategis Kota Jogja, ijinkan saya menuliskannya disini untuk menutup oret-oretan kali ini.

“Travelling is the only thing you buy that can make you richer”


Tanjung, 14 November 2014.

Kamis, 13 November 2014

Untuk Segala Hal Baik dan Buruk dalam 23 Tahun

Sudah cukup lama rasanya saya tidak menulis. Dan… Ow Em Jiiiii, bahkan untuk menulis tentang "4 November" beberapa waktu yang lalu pun saya lupa, Gubraaakkkkk.. Padahal itu tradisi yang hampir tidak pernah saya lewatkan setiap kali bertambah usia. Entah kenapa jadi sekacau ini. Inspirasi saya seolah pergi sehingga saya enggan dan parahnya justru tidak terpikir lagi untuk ngoret-oret blog ini. Tida tida tidaaa.. bintang itu tetap berada disana, bumi saya hanya sedang berputar. Inspirasi tidak pernah pergi. Begitu kata Luhde pada Keenan dalam Novel Perahu Kertas, saat Keenan merasa tidak bisa lagi menggoreskan kuasnya diatas kanvas.

Kembali ke "4 November". Eh tadinya topiknya bukan ini, tapi yang itu. Tapi yasyudahlah yang itu dipending dulu diganti yang ini. Takkan lari gunung dikejar. (Heh ? Hubungannya ? :o )

Alhamdulillah, tahun ini saya menghabiskan moment pergantian usia di tanah kelahiran saya, Tanjung. Terima kasih Tuhan untuk angka baru ini. Terima kasih untuk memberi apa yang saya butuhkan meski tidak semuanya terlihat pas dengan apa yang saya ingini. Terimakasih untuk memberi saya pelajaran baru melalui status yang saya sandang sebagai  seorang fresh graduate yang mulai mencari penghidupan.  Terimakasih untuk mengajari saya lebih berani melawan egoisme diri saya sendiri, melatih saya menjadi lebih realistis, tanpa harus selalu idealis. Terima kasih sudah menitipkan pelajaran berharga lewat orang yang datang lalu pergi lagi. Terima kasih sudah mengajari saya menjadi lebih dewasa dengan segala proses kehidupan yang sudah saya lalui.  Terima kasih untuk keluarga dan teman-teman yang tidak pernah pergi, mereka selalu ada itu sudah lebih dari cukup. Terima kasih untuk teman-teman SMP dan SMA yang memberi saya kejutan yang tidak disangka pada malam itu, Dewi, Ida, Erma, Putri, Mila, Gina, Rahma, Adrew, Fudin, Teguh. Dan Adrew, tengkyu buat gambar kepala daerah dan wakilnya, saya benar-benar tertohok, bung. hahaha. You know what guys? Karena kalian, pada malam itu saya menyadari bahwa saya ternyata kembali punya kehidupan di kota ini, punya ruang yang kosong untuk kembali diisi. Welcome home, Endah.



Bertambahnya usia bukan berarti paham segalanya. Tapi saya berjanji untuk selalu berusaha memahami setiap hal baik dan buruk yang sudah saya lewati selama 23 tahun ini. Saya yakin bahwa Tuhan tidak pernah memberi segala sesuatu dengan sia-sia, tak ada sedikit pun yang mengalir mubazir. Therefore, in this 23 years old of mine, I decide to be thankfull  for all the good and the bad things in my life.

Sugeng tanggap warsaaaa  Endaaaaaah, Enduuuuut, Endahoooo. :p
Selamat menuaaa, enggak menua dengg, mendewasa.. hehehe.
Selamat menikmati hidup sehidup-hidupnya !
Selamat menikmati nano-nano selanjutnya !

Tanjung, 13 November 2014.

Kamis, 28 Agustus 2014

BE ACCEPTABLE ON WHAT’S BEYOND YOUR ABILITY

“Kamu hanya butuh waktu. Luka dibadan saja butuh waktu untuk sembuh.” Kata seorang sahabat dalam perbincangan kami pada suatu malam. Saya terdiam sejenak. Kalimat itu menyeret saya pada tahunan silam, saat saya yang masih berseragam putih abu-abu dengan penuh kepastian meyakinkannya pada kalimat serupa. Tak lama kemudian sahabat saya itu tertawa penuh kemenangan, disusul dengan gelak tawa konyol saya yang baru tersadar dengan siklus kalah dan menang yang sedang berputar. Sial, batin saya.

“Butuh waktu sekian tahun bagi saya untuk membalas kamu dengan kalimat itu. Akhirnya…” katanya lagi. Kalimat yang pernah saya ucapkan itu sebenarnya tak hanya melintas di sepanjang tahun yang kami lewati, saya yakin ia telah melintasi banyak jaman sebelumnya. Para pujangga tak sembarang merumuskannya. Dibutuhkan peristiwa demi peristiwa, saksi demi saksi,  yang menguji keabsahannya dari waktu ke waktu hingga kalimat ini menjadi sedemikian klasik dan sulit dibantah walau jaman telah berganti.

Sahabat saya mendengar kalimat itu saat barangkali saya belum benar-benar mengerti dengan apa yang saya ucapkan. Beruntungnya telinga dan mata saya waktu itu telah cukup awas untuk memperhatikan kalimat klasik itu hadir di televisi, di majalah, atau entah darimana asalnya, saya lupa. Keawasan itu saya sejajarkan dengan logika yang sangat amat sederhana, bahwa jika ada bagian tubuhmu yang terluka dan membuatmu berdarah, diobati dengan obat merah sekalipun, tetap saja tidak mungkin  luka tersebut kering dan hilang dalam sesaat. Dibutuhkan detik, menit, jam, bahkan hari demi hari untuk menyembuhkannya.

Waktu menyembuhkan segala luka. Serahkan saja pada waktu dan… Simsalabim abrakadabra… luka akan sembuh. Syaratnya barangkali hanya satu, serahkan keyakinanmu bahwa ada banyak hal di dunia ini yang berada diluar kendalimu. We can’t carry the weight of the heavy world, right ? Itu berada di luar kendali kita, di luar kuasa kita. Kadang kita lupa mengimaninya sehingga kita terus menyangkal, menolak, dan bahkan memaksa. Padahal semua itu hanya akan membuat batin kita lelah, dan frustasi bisa menjadi dampak selanjutnya. Saya menduga, bukan tidak mungkin itu pula yang menjadi salah satu faktor yang membuat beberapa artis ternama dunia memutuskan untuk bunuh diri setelah merasa bahwa dirinya tak lagi tenar seperti dulu. Bisa jadi mereka terlalu percaya bahwa segala sesuatu yang mereka dapatkan adalah karena mereka, tepatnya karena kekuatan yang berada di dalam diri mereka sendiri, tanpa ada kekuatan magis lain yang mengendalikan. Sehingga ketika tiba saatnya pesona mereka tak lagi mampu memikat dunia, mereka terus memaksakan diri dengan berbagai cara. Jika tetap tak bisa, maka mungkin setelah itu mereka akan mengutuk diri sendiri, frustasi karena tak bisa apa-apa dan merasa tak berguna lagi hidup di dunia. Lupa tentang hal-hal yang sebenarnya memang ada di luar kendali.

Remember that there are a lot of things in this world are beyond of your ability, it’s not yours, it’s God’s. Bagi saya itulah hakikat sebenarnya ketika waktu diatasnamakan sebagai penawar dari sebuah luka. Ada kalanya kita harus menerima dan sadar bahwa kendali tak selamanya berada di tangan kita. Waktu akan menjawab setepatnya. Jangkanya ? It’s not only depends on how much you can trust it can be healed, but also depends on how good you can control your ego by accepting what’s beyond your ability.

Tanjung, 28 Agustus 2014