Nada telepon
itu berdering kembali, aku sudah tahu ini akan terjadi sejak beberapa menit yang lalu ketika kupencet
tombol merah untuk mengakhiri pembicaraan kita yang sebenarnya masih
menggantung itu. Aku tahu kamu benci mengakhiri pembicaraan dengan cara semacam
ini. Kalau boleh aku menebak, kamu pasti marah-marah diujung sana, atau bahkan
mungkin menangis dibawah bantal. Maaf harus membuatmu seperti ini lagi.
Kubiarkan nada
panggil itu menggema didalam ruangan yang seolah tak berpenghuni hingga
akhirnya tak terdengar lagi. Stok sabarmu kali ini moga-moga sudah habis dan
tak tersisa lagi untukku, hingga akhirnya amarah yang tak tersalurkan itu mengakhiri
emosimu dalam diam yang lama-kelamaan mengendap menjadi benci. Tinggalkan aku
dan bencilah aku sesuka hatimu. Ini memang keanehan, tapi sungguh hanya keanehan
inilah yang sanggup diterjemahkan oleh hatiku saat ini tanpa aku sendiri mengerti
kenapa bisa seperti ini. Bukan aku membencimu, bukan aku tak sayang padamu, bukan
aku tak suka setiap jengkal langkahmu, bukan aku ingin membungkam tawamu saat
berada disisiku.
Ijinkan aku
memperbincangkan kita dan kota ini. Aku lahir di kota ini. Aku mencintai kota
ini seperti kamu mencintai kota ini sepenuh hatimu, seolah ragamu terlahir di
kota ini sama sepertiku. Namun aku tahu bahwa kota ini hanyalah persinggahan bagimu,
cepat atau lambat kamu pasti akan kembali
untuk mereka yang juga kamu cinta disana. Sekalipun berada disini membuatmu
nyaman sehangat berselimut dalam hujan, kamu harus bangun dan mengambil payung
berjalan dibawah hujan untuk mereka yang sedang menunggumu pulang.
“Aku ingin
tinggal disini” bukan sekali dua kamu ucapkan kalimat ini. Terkadang kalimat itu
terucap pasti dengan senyuman, kamu cinta
kota ini bahkan sebelum kamu memulai 4 tahunmu disini, entah bagaimana bisa, begitu katamu. Di lain waktu,
kalimat itu terucap ragu dengan tatapan kosong dari matamu. “Pulang”
menjadi konsep yang kamu inginkan sekaligus kamu takutkan. Siapa yang bisa menerjemahkan
seperti apa rasanya menikmati sensasi menyelami indahnya lautan namun masih
merasa ngeri saat menyadari kamu berada semakin jauh dari alam nyatamu diatas
sana? Seperti itulah yang barangkali kamu rasakan.
“Bukannya
selama ini kamu bilang kita harus yakin dan pasti akan temukan jalan?” getir
dan retorikal kamu bertanya seolah meminta pertangggungjawaban atas apa yang pernah
aku yakinkan. Barangkali saat itu aku salah, aku tutup mataku sendiri saat sebuah
akhir telah tampak dipelupuk mataku bahkan sebelum sebuah awal benar-benar kita
mulai.
“Atau jangan-jangan kamu memang membenciku? Kamu benar-benar membenciku?”
setengah terisak kamu bertanya. Tidak, sungguh. Bagaimana bisa kamu berpikir
aku sebenci itu padamu saat aku rela habiskan sebagian waktuku untuk kamu selama ini,
untuk percakapan diujung telepon tengah malam hingga pagi yang dulu rela kita
alami.
“Kamu takut
pada jarak? ” pertanyaan ketigamu laksana serangan bertubi-tubi sebelum aku
sempat menjawab pertanyaan pertama dan keduamu. Sabar, biarkan aku menjawabnya. Barangkali kali ini kamu benar, aku gentar terhadap ribuan kilometer
yang nanti harus membentang diantara kita saat kuyakini bahwa kebersamaan
adalah harga mati.
“Kita akan
temukan jalan, kan?” lanjutmu lagi. Hey, sesungguh itukah kamu mau bertahan
disini? Kali ini ijinkan aku untuk sedikit sok tahu, mimpimu masih panjang dan
banyak yang harus kamu lakukan untuk mereka yang kamu cinta disana, bukan begitu?
aku tidak yakin benarkah aku adalah alasan yang tepat bagimu untuk tetap
tinggal. Kalimat ini lagi-lagi terhenti ditenggorokan, tercekat tanpa sempat
menjelma sebagai kata-kata yang seharusnya sampai diindra dengarmu. Biarlah, toh sekalipun kukatakan
demikian, barangkali dimatamu aku tetaplah tampak sebagai makhluk egois yang tidak
mau menunggumu menyelesaikan mimpi-mimpi dan segala hal yang ingin kamu wujudkan.
“Bekas lukamu
itu... bekas lukamu itulah yang mengingatkanmu akan sakitnya kehilangan dan lantas
membuatmu enggan meneruskan. Aku adalah ketidakpastian yang nyata bagimu. Menemukan
celah untuk berhenti sebelum semuanya penuh dengan keterlanjuran adalah
kebenaran tertinggimu saat ini” pelan kamu lantas menyimpulkan sendiri setelah
segelontor pertanyaan-pertanyaanmu itu tak mendapat satu kata pun sebagai
jawaban. Ah, entah kesialan macam apa yang mencekat tenggorokanku hingga tak
ada yang sanggup aku luncurkan dari bibirku sebagai respon dari pernyataanmu. Ingin
kukatakan betapa sok tahunya kamu bisa-bisanya berkata seperti itu, namun
kemudian aku tersadar, setelah itu lalu apa? kalimat apa yang selanjutnya akan kugunakan untuk
menyangkal? Tak kutemukan kalimat yang tepat untuk memicu perdebatan ini, entah
karena aku masih butuh waktu untuk menemukan jawaban atau entah karena aku memang telah
kalah dan membenarkan pernyataanmu tanpa sadar.
Aku rasa kamu tidak
perlu didebat, komunikasi yang terbangun walau hanya dengan satu arah ini sudah
mampu memberimu segalanya yang ingin kamu dengar. Barangkali cara ini akan
membuat tetesan air diatas payungmu tidak akan sederas yang kamu takutkan,
kamu akan dibersamai dengan hujan yang lebih ringan untuk pulang. Kamu diam,
mengerti kemana akan pergi setelah tidak cukup alasan lagi bagimu untuk tetap tinggal. Kamu titipkan satu kalimat tanya yang
untuk kesekian kalinya lagi-lagi membuatku terdiam. Namun diamku kali ini bukan karena sesuatu yang mencekat tenggorokan, diamku kali ini tak beralasan, aku tidak
tahu jawabannya.
“Andai aku gadis kota ini, apakah
akan tetap seperti ini ceritanya?”
Tanpa mau menunggu apa-apa lagi, kamu
berbalik pergi.
Yogyakarta, 18 Maret 2014
NB : Belum tentu aku itu aku, belum tentu aku itu kamu, juga
dia. J