Laman


Sabtu, 19 April 2014

BERLELAH-LELAH

Saya ingin menulis, tapi kali ini bukan sebagai seseorang yang sok kesastra-sastraan, kepuitis-puitisan, dan kefilosofis-filosofisan seperti sebelum-sebelumnya. Sok? Ya, karena pada kenyataannya saya justru lebih banyak berbaur dengan hal-hal yang logis dan matematis. Saya mahasiswa fisika yang telah melewati sidang akhir dan sebentar lagi akan melepas masa lajangnya, eh melepas masa kemahasiswaannya maksudnya, bersiap untuk memasuki masa transisi berpindah status sebagai… entah apa itu namanya, dan dengan kesibukan macam apa sehari-harinya, saya belum tahu. Yang jelas, untuk hari ini saya ingin sibuk menulis.

        Suatu malam saya pernah sendirian didalam kamar kos, sejak kemarin saya tidak kemana-kemana, bermaksud mengistirahatkan tubuh yang manja dan menuntut untuk diistirahatkan. Tahu apa yang terjadi? Tubuh saya rileks, tapi alam pikir dan alam imajinasi saya tidak. Malam itu, rasanya kepala saya berat sekali, dunia 3x3 meter ini terasa mengungkung pikiran saya hingga pikiran saya tak bisa menjelajah kemana-mana, bahkan HP, laptop, alat musik, buku bacaan, tidak mampu menciptakan permainan antarsaraf yang saya butuhkan. Saya buka pintu kamar, menghirup karbondioksida udara malam yang sebenarnya tak menyehatkan sambil melihat bintang-bintang diatas sana. Bermain mata dengan mahluk di angkasa bebas yang tak terperi itu tak jua mampu membebaskan alam pikir dan alam imajinasi saya.

Malam semakin larut, saya kembali kekamar dan menutup pintu perlahan. Tak sempat semenit, cepat-cepat saya buka pintu lebar-lebar membiarkan sejumlah udara  masuk. Udara di dalam kamar saya terasa begitu menyesakkan dan saya seolah mau mati megap-megap karenanya. Tuhan, ada apa ini?? Ruang yang dibatasi oleh empat dinding yang selama ini menjadi tempat saya melepas lelah ini tiba-tiba saja terasa menyiksa, tiba-tiba ingin saya robohkan hingga tak ada lagi yang tersisa.  Kalau saja saya bisa pergi, maka saya pasti pergi kemanapun didetik itu juga. Tapi sayang, pintu pagar kos sudah ditutup, dan saya hampir tidak ada bedanya dengan burung di dalam sangkar jika sudah begini. Saya termenung di samping pintu kamar sambil berkata didalam hati, “Tuhan, saya akan sangat berterima kasih jika malam ini bisa saya lewati”.

Pagi menjelang. Saya bergegas bangkit dan pergi.

 Peristiwa semalam terjadi karena saya tidak kemana-mana dan tidak melakukan apa-apa yang berarti sejak dua hari yang lalu. Akhirnya malam itu saya berjanji pada diri saya sendiri, saya tidak ingin terlalu lama berdiam diri tanpa melakukan apapun, dan bahkan mungkin tidak ingin menganggur walau nanti sudah menikah dan mengurus anak sekalipun. Terlalu lama diam dalam zona yang saya pikir adalah zona nyaman ternyata tidak membuat saya lebih baik. Saya butuh menghirup udara diluar lebih dari apapun setiap harinya, saya butuh menemui hijaunya pepohonan dipinggir jalan, butuh menjumpai apa saja yang bergerak diluar sana sebagai pemicu permainan antarsaraf di otak saya, saya butuh melakukan sesuatu yang berarti diluar sana lebih dari apapun. 

Adalah hal yang manusiawi jika biasanya saya suka merutuk kesibukan, lelah yang mendera membuat saya berharap kesibukan itu berakhir, segera, secepatnya. Kesibukan memang harus ada porsinya, takaran yang pas akan membuat kesibukan itu terasa sempurna. Setiap orang mendambanya, termasuk saya. 

Jadi Tuhan, setelah ini jadikan saya sibuk lagi ya, hehe. Bimbing saya menemukan kesibukan. Saya sudah cukup mengerti betapa tidak berartinya berisitirahat dalam dunia 3x3 meter tanpa adanya sibuk dan lelah. Dan saya percaya, betapa berartinya sibuk dan lelah karena hal-hal yang akan saya peroleh setelahnya.



“Berlelah-lelahlah, manisnya hidup akan terasa setelah lelah berjuang” (Imam Syafi'i)

Yogyakarta, 19 April 2014

Jumat, 18 April 2014

SENJA KESEKIAN



Wanita itu masih asyik mengarahkan pandangannya kearah barat, menatap anggunnya warna senja lekat-lekat sambil mengayun-ayunkan kakinya ringan. Duduk diteras lantai dua di sore hari begini menjadi salah satu hal favorit yang dia lakukan semenjak tinggal di kota ini.

Ada hal yang sedikit janggal sebenarnya. Kenapa tidak dari dulu saja ia menjadi pecinta senja? Bukankan senja sudah ribuan kali menyapanya bahkan  sebelum ia berada di kota ini? Sederhana saja jawabannya.  Tempat tinggalnya saat ini memungkinkannya untuk melihat langit senja secara lebih leluasa. Beda halnya dengan dulu, memiliki rumah dengan satu lantai tidak memungkinkan pandangannya untuk melampaui atap-atap rumah tetangga ataupun pepohonan demi mengantar matahari pulang. Dulu, pamitnya matahari tidak semesra, sehangat, dan seindah ini.  Jadi ini hanya perkara ketinggian  tempat ia berpijak. Alasan ini bahkan tidak filosofis sama sekali bukan? Syukurnya cukup logis.

Ia mengambil sebuah buku dan pena yang sejak tadi tergeletak disampingnya. Ia tutup matanya sejenak seperti sedang berusaha mencari-cari sesuatu untuk diundang kedalam permainan jemarinya sesaat lagi. Perlahan, ujung pena itu mulai menyentuh permukaan kertas untuk sesuatu yang butuh ia tuliskan.


Hai kamu, ini senja kesekian yang saya nikmati setelah saya dan kamu memutuskan untuk membuat rute baru yang tidak lagi sama, rute baru yang mengharuskan kita untuk berjalan sendiri-sendiri dengan istilah “aku dan kamu” yang tidak lagi bisa disebut dengan “kita”. Bagaimana rasanya? Apa kabar kamu sekarang? Saya yakin kamu baik-baik saja disana, jauh lebih baik daripada saya. 
Kamu sehat saja bukan? Masih sering makan mie tengah malam saat kelaparan? Masih malas mencuci tangan sebelum makan? Adakah yang protes marah saat kebiasaan burukmu ini kamu ulang lagi untuk kesekian kalinya?
Ohya, jangan lupa untuk mencabut beberapa helai rambut putihmu yang tumbuh terlalu dini itu. Mereka butuh dienyahkan setiap bulan sekali. Kalau tidak, kamu bisa jadi akan terlihat sebagai seorang kakung berwajah muda diantara teman-temanmu. Don’t be so stress, stressmu itu bisa membuat zat penghitam rambut dari dalam tubuhmu bekerja tidak maksimal, akibatnya ada beberapa helai yang tidak ikut terhitamkan, bukan begitu? :D Iya iya, saya tahu sifat cuekmu tidak akan membuat hal semacam itu menjadi masalah yang berarti bagi kamu. 


            Jemari itu berhenti menari sejenak, matanya kembali mengarah ke arah barat mencari-cari bola raksasa, semburat merahnya dilangit seolah-olah menjadi layar pemutar masa lalu yang sedang ia ingat-ingat. Ia tersenyum sejenak.



Tapi toh demikian, saya tidak keberatan memberi nama sepasang boneka kertas dikamar saya dengan nama Uti dan Kakung, seolah rela menua bersama kamu walau harus diusia ini. 


Ia tertawa kecil mengingat apa yang pernah terlewati. Namun kemudian terdiam sejenak, air mukanya berubah perlahan, ingatan lain tiba-tiba memutar lengkung senyumnya hampir seratus delapan puluh derajat.
                “Kenapa tidak dicopot saja nama itu? untuk apa masih membiarkannya terpajang di kamarmu seperti ini?” seorang sahabat pernah memarahinya suatu hari.
               “Itu tidak ada artinya. Jangan menjudge sesuatu hanya karena sesuatu tampak diluar.” jawabnya.
               “Apalagi? Wallpaper Hpmu yang memasang wajahnya yang tidak pernah kamu ganti? Fotonya yang masih berjejer rapi di galeri HPmu, lalu.. nama kontak yang masih bertuliskan nama panggilan sayangmu buat dia itu juga belum kamu ganti. Apalagi? Ada lagi hal-hal lain yang tanpa kamu sadari memblok jalanmu sendiri untuk melupakannya?”  
               Saat itu ingin ia membela diri karena tak terima, tapi hanya bisa diam karena tak tahu harus berkata apa, tidak satu katapun yang bisa terangkai dari mulutnya untuk menjadi pembela.
              “Kamu tidak bergerak, bahkan satu inci pun tidak.” Ia menelan ludah pahit kala teringat kalimat itu.


Seorang sahabat pernah memarahi saya, katanya saya harus melepas nama kita di boneka itu. Kenapa harus begitu? kenapa saya harus sesegera mungkin melupakan kamu? Saya tidak pernah memaksa diri saya untuk jatuh cinta sama kamu, lalu kenapa untuk melupakan kamu harus  memaksakan diri? Bukankah sudah ada rentang waktu tertentu yang menjadi  plot dari setiap adegan yang kita alami, tanpa harus dipaksa lebih cepat datangnya.


 Setitik air matanya jatuh diatas kertas. Ia tahu, logikanya lumpuh saat ia menuliskan kalimat penenang itu. Logika yang mengerti bahwa melupakan masa lalu sesegera mungkin adalah sebuah keharusan jika memang masa lalu itu nyatanya menjadi penghalang bagi masa depannya. 
         Kalau saja di hari terakhir kita bertemu itu ada sergahan kata ‘jangan pergi’ yang kamu tindakan dengan tepat, saya pastikan saya akan menghambur kembali dan tidak akan pergi.
Tapi untuk apa? Untuk apa jika pada akhirnya mungkin akan berpisah kembali? Ia bertanya pada dirinya sendiri didalam hati sambil menatap matahari seolah berharap akan menemukan jawaban disana. Matahari semakin mendekat dengan kaki langit, cepat-cepat bersembunyi dibalik arakan awan seakan malu karena tak bisa memberi jawaban atas pertanyaan yang terpancar dari mata sang gadis yang setiap sore setia mengantarnya pulang itu. Pertanyaan yang sama, disetiap sore sejak beberapa bulan terakhir, getir memang. 
            
           Saya benci adegan yang harus kita mainkan saat ini...

Gadis itu tak pandai memaksakan diri untuk bermain dalam adegan yang telah menanti untuk ia mainkan di bagian berikutnya. Sekalipun mengamini datangnya adegan kebebasan dari penjara yang ia cinta sekaligus ia rutuk itu, ia tetap tak kuasa memaksa adegan itu datang lebih awal jika memang belum tiba saatnya. Persis seperti tak kuasanya ia memaksa matahari untuk secepatnya berada pada altitude kurang dari 10 derajat dari kaki langit barat ketika ia baru saja mengucap selamat pagi kepada dunia.
Langit mulai berganti warna, menggusur cahaya senja hingga tak lagi mampu meneranginya menulis, tulisan yang tak akan terbaca oleh seseorang disana. Tulisan itu hanya akan menjadi penanda, jejak atas penyesuaian perasaannya yang lama-kelamaan akan mampu sejajar merdeka dengan logika, jejak atas adegan demi adegan yang tak lagi menanti dimainkan karena pada akhirnya berhasil ia mainkan tanpa terpaksa.
 Ia tutup bukunya, sembari beranjak pergi sebelum siluet tubuhnya benar-benar hilang ditelan gelap. Tulisan tangan itu akan selesai sempurna ketika ia tidak punya apa-apa lagi untuk dituliskan, untuk dikenangkan. Saat itu, adegan kebebasan itu barangkali telah dimulai, meski entah pada hitungan senja yang keberapa.


Yogyakarta, 10 April 2014

NB: Belum tentu yang saya tulis itu aku, belum tentu yang saya tulis itu kamu.