Saya
ingin menulis, tapi kali ini bukan sebagai seseorang yang sok kesastra-sastraan, kepuitis-puitisan,
dan kefilosofis-filosofisan seperti sebelum-sebelumnya. Sok? Ya, karena pada kenyataannya saya justru lebih banyak berbaur dengan hal-hal
yang logis dan matematis. Saya mahasiswa fisika yang telah melewati sidang akhir
dan sebentar lagi akan melepas masa lajangnya, eh melepas masa kemahasiswaannya
maksudnya, bersiap untuk memasuki masa transisi berpindah status sebagai…
entah apa itu namanya, dan dengan kesibukan macam apa sehari-harinya, saya
belum tahu. Yang jelas, untuk hari ini saya ingin sibuk menulis.
Suatu malam saya pernah sendirian
didalam kamar kos, sejak kemarin saya tidak kemana-kemana, bermaksud mengistirahatkan
tubuh yang manja dan menuntut untuk diistirahatkan. Tahu apa yang terjadi?
Tubuh saya rileks, tapi alam pikir dan alam imajinasi saya tidak. Malam itu,
rasanya kepala saya berat sekali, dunia 3x3 meter ini terasa mengungkung
pikiran saya hingga pikiran saya tak bisa menjelajah kemana-mana, bahkan HP,
laptop, alat musik, buku bacaan, tidak mampu menciptakan permainan antarsaraf
yang saya butuhkan. Saya buka pintu kamar, menghirup karbondioksida udara malam yang sebenarnya tak menyehatkan sambil melihat
bintang-bintang diatas sana. Bermain mata dengan mahluk di angkasa
bebas yang tak terperi itu tak jua mampu membebaskan alam pikir dan alam
imajinasi saya.
Malam
semakin larut, saya kembali kekamar dan menutup pintu perlahan. Tak sempat
semenit, cepat-cepat saya buka pintu lebar-lebar membiarkan sejumlah udara masuk. Udara di dalam kamar saya terasa begitu menyesakkan dan saya seolah mau mati megap-megap karenanya. Tuhan, ada apa ini?? Ruang yang
dibatasi oleh empat dinding yang selama ini menjadi tempat saya melepas lelah ini
tiba-tiba saja terasa menyiksa, tiba-tiba ingin saya robohkan hingga tak ada
lagi yang tersisa. Kalau saja saya bisa
pergi, maka saya pasti pergi kemanapun didetik itu juga. Tapi sayang, pintu
pagar kos sudah ditutup, dan saya hampir tidak ada bedanya dengan burung
di dalam sangkar jika sudah begini. Saya termenung di samping pintu kamar sambil berkata
didalam hati, “Tuhan, saya akan sangat berterima kasih jika malam ini bisa saya lewati”.
Pagi
menjelang. Saya bergegas bangkit dan pergi.
Peristiwa semalam terjadi karena saya tidak
kemana-mana dan tidak melakukan apa-apa yang berarti sejak dua hari yang lalu. Akhirnya malam itu saya berjanji pada diri saya sendiri, saya tidak ingin terlalu
lama berdiam diri tanpa melakukan apapun, dan bahkan mungkin tidak ingin
menganggur walau nanti sudah menikah dan mengurus anak sekalipun. Terlalu lama diam
dalam zona yang saya pikir adalah zona nyaman ternyata tidak membuat saya lebih
baik. Saya butuh menghirup udara diluar lebih dari apapun setiap harinya, saya butuh
menemui hijaunya pepohonan dipinggir jalan, butuh menjumpai apa saja yang bergerak diluar
sana sebagai pemicu permainan antarsaraf di otak saya, saya butuh melakukan
sesuatu yang berarti diluar sana lebih dari apapun.
Adalah
hal yang manusiawi jika biasanya saya suka merutuk kesibukan, lelah yang
mendera membuat saya berharap kesibukan itu berakhir, segera, secepatnya. Kesibukan
memang harus ada porsinya, takaran yang pas akan membuat kesibukan itu terasa sempurna.
Setiap orang mendambanya, termasuk saya.
Jadi
Tuhan, setelah ini jadikan saya sibuk lagi ya, hehe. Bimbing saya menemukan kesibukan. Saya sudah cukup mengerti betapa tidak berartinya berisitirahat dalam dunia 3x3
meter tanpa adanya sibuk dan lelah. Dan saya percaya, betapa berartinya sibuk
dan lelah karena hal-hal yang akan saya peroleh setelahnya.
“Berlelah-lelahlah,
manisnya hidup akan terasa setelah lelah berjuang” (Imam Syafi'i)
Yogyakarta, 19 April 2014