Jika ada orang yang bertanya pada
saya, apa yang paling saya takuti dalam
hidup? “Kehilangan” barangkali akan menjadi jawabannya. Kata orang, kehilangan
adalah suatu proses yang akan dan pasti terjadi dalam hidup seseorang. Takut
atau tidak, semua orang pasti akan mengalaminya. Memiliki lalu
kehilangan, ini seperti semacam siklus kehidupan yang memang wajar dan harus
terjadi, jadi barangkali benar bahwa yang perlu dilakukan adalah
bersiap-siap, lalu menerima. Namun sayangnya kewajaran tersebut kadang masih belum benar-benar mampu mengusir rasa ketakutan
berlebih saya akan konsep ini.
Tulisan ini sebenarnya saya buat
sebagai pengingat bagi diri saya sendiri, untuk mengurangi rasa takut saya akan
kehilangan segala sesuatu yang sejatinya hanya milik Tuhan. Disadari atau
tidak, kadang-kadang kita justru butuh diri sendiri untuk mengingatkan.
“Ada sesuatu dalam
hidup ini yang ingin terus kita miliki namun suatu saat kita sadar bahwa kita tidak
kuasa untuk mempertahankannya, ia pergi dan… kita kehilangan.”
Jika ditanya seperti apa rasanya,
tentu sakit. Berkali-kali telah merasakan kehilangan pun bukan jaminan
seseorang akan lantas terbiasa, kebal, dan tak lagi merasakan sakitnya
kehilangan.
Beberapa kawan pernah mengatakan pada
saya bahwa mereka tidak siap jika harus kehilangan siapapun yang berarti dalam
hidup mereka. Kalau boleh jujur, sayapun sama tidak siapnya dengan mereka.
Namun kadang perkara kesiapan itu berada diluar perkiraan kita, setidaknya itu
yang saya rasakan saat saya mengalami kehilangan terbesar dalam hidup saya,
saat ayah saya pergi untuk selama-lamanya.
Jika ditanya apakah waktu itu saya
siap, tentu saya menjawab tidak. Saya bahkan sempat berdoa agar Tuhan berkenan
menjalankan kehidupan dengan menghentikan putaran waktu agar saya bisa lebih
lama lagi bersama ayah saya. Permintaan konyol itu semata-mata saya minta hanya
karena saya merasa tidak siap jika kehilangan itu benar-benar harus terjadi dalam waktu dekat.
Tapi tanpa sepengetahuan saya, Tuhan sudah mempersiapkan diri saya
untuk menerima apa yang saya pikir saya tidak siap. Buktinya saya berhasil
melewatinya. Jika bagi Tuhan saya memang belum siap, tentu Tuhan tidak akan
memaksa, bukankah Tuhan tidak akan menimpakan suatu musibah diluar batas
kemampuan hambanya? Mampu bahkan lebih dari sekedar siap.
Jika ditanya sakit dan sedihkah
rasanya? Jelas. Barangkali diantara semua anggota keluarga saya, harusnya
sayalah yang paling bersedih. Saya adalah yang paling muda diantara anggota
keluarga saya, berarti logikanya saya adalah orang yang paling minim
menghabiskan waktu dengan ayah saya sehingga otomatis butuh waktu lebih banyak untuk
menunjukkan banyak hal lagi pada beliau.
“Ada sesuatu dalam
hidup ini yang ingin terus kita miliki namun suatu saat kita sadar bahwa kita tidak
kuasa untuk mempertahankannya, ia pergi dan.. kita kehilangan."
Satu-satunya yang bisa menyembuhkan
rasa kehilangan itu adalah menerima bahwa ini memang siklus hidup yang wajar
dan pasti harus dialami oleh setiap orang. Berani memiliki, maka berani pula
untuk merasa kehilangan. Karena pada dasarnya semua milik Tuhan, kita cuma dikasih pinjam. Toh bagi saya ayah
saya selalu tahu kemana arah kaki saya melangkah, selalu akan marah jika saya
berbuat salah, dan selalu akan tersenyum jika saya berbuat benar. Saya tidak perlu
lagi menunjukkan sebuah foto kemudian bercerita kepada beliau tentang apa saja yang saya lakukan dalam foto tersebut, beliau sudah melihat sendiri salah benar tindak tanduk saya dari sana. Ayah saya bahkan
kadang terasa lebih dekat dari sebelumnya, bahasanya tidak lagi melalui raga,
tapi rasa.
Kehilangan seseorang sebenarnya bisa
diartikan lebih luas. Bisa diartikan sebagai kehilangan seseorang untuk
selama-lamanya karena mereka harus pergi meninggalkan dunia, bisa juga diartikan
sebagai perginya seseorang dari dalam hati kita. Dua hal yang sebenarnya berbeda,
namun juga sama. Untuk yang manapun kasusnya, sederhananya,
memiliki dan kehilangan itu satu paket. Jika takut kehilangan maka berhenti
saja memberanikan diri untuk memiliki.
Yogyakarta, 08 Mei 2014