Laman


Kamis, 08 Mei 2014

PAKET MEMILIKI KEHILANGAN



Jika ada orang yang bertanya pada saya, apa  yang paling saya takuti dalam hidup? “Kehilangan” barangkali akan menjadi jawabannya. Kata orang, kehilangan adalah suatu proses yang akan dan pasti terjadi dalam hidup seseorang. Takut atau tidak, semua orang pasti akan mengalaminya. Memiliki lalu kehilangan, ini seperti semacam siklus kehidupan yang memang wajar dan harus terjadi, jadi barangkali benar bahwa yang perlu dilakukan adalah bersiap-siap, lalu menerima. Namun sayangnya kewajaran tersebut kadang masih belum benar-benar mampu mengusir rasa ketakutan berlebih saya akan konsep ini. 

Tulisan ini sebenarnya saya buat sebagai pengingat bagi diri saya sendiri, untuk mengurangi rasa takut saya akan kehilangan segala sesuatu yang sejatinya hanya milik Tuhan. Disadari atau tidak, kadang-kadang kita justru butuh diri sendiri untuk mengingatkan.

“Ada sesuatu dalam hidup ini yang ingin terus kita miliki namun suatu saat kita sadar bahwa kita tidak kuasa untuk mempertahankannya, ia pergi dan… kita kehilangan.”

            Jika ditanya seperti apa rasanya, tentu sakit. Berkali-kali telah merasakan kehilangan pun bukan jaminan seseorang akan lantas terbiasa, kebal, dan tak lagi merasakan sakitnya kehilangan. 

Beberapa kawan pernah mengatakan pada saya bahwa mereka tidak siap jika harus kehilangan siapapun yang berarti dalam hidup mereka. Kalau boleh jujur, sayapun sama tidak siapnya dengan mereka. Namun kadang perkara kesiapan itu berada diluar perkiraan kita, setidaknya itu yang saya rasakan saat saya mengalami kehilangan terbesar dalam hidup saya, saat ayah saya pergi untuk selama-lamanya. 

Jika ditanya apakah waktu itu saya siap, tentu saya menjawab tidak. Saya bahkan sempat berdoa agar Tuhan berkenan menjalankan kehidupan dengan menghentikan putaran waktu agar saya bisa lebih lama lagi bersama ayah saya. Permintaan konyol itu semata-mata saya minta hanya karena saya merasa tidak siap jika kehilangan itu benar-benar harus terjadi dalam waktu dekat. Tapi tanpa sepengetahuan saya,  Tuhan sudah mempersiapkan diri saya untuk menerima apa yang saya pikir saya tidak siap. Buktinya saya berhasil melewatinya. Jika bagi Tuhan saya memang belum siap, tentu Tuhan tidak akan memaksa, bukankah Tuhan tidak akan menimpakan suatu musibah diluar batas kemampuan hambanya? Mampu bahkan lebih dari sekedar siap.

Jika ditanya sakit dan sedihkah rasanya? Jelas. Barangkali diantara semua anggota keluarga saya, harusnya sayalah yang paling bersedih. Saya adalah yang paling muda diantara anggota keluarga saya, berarti logikanya saya adalah orang yang paling minim menghabiskan waktu dengan ayah saya sehingga otomatis butuh waktu lebih banyak untuk menunjukkan banyak hal lagi pada beliau.

“Ada sesuatu dalam hidup ini yang ingin terus kita miliki namun suatu saat kita sadar bahwa kita tidak kuasa untuk mempertahankannya, ia pergi dan.. kita kehilangan."

Satu-satunya yang bisa menyembuhkan rasa kehilangan itu adalah menerima bahwa ini memang siklus hidup yang wajar dan pasti harus dialami oleh setiap orang. Berani memiliki, maka berani pula untuk merasa kehilangan. Karena pada dasarnya semua milik Tuhan, kita cuma dikasih pinjam. Toh bagi saya ayah saya selalu tahu kemana arah kaki saya melangkah, selalu akan marah jika saya berbuat salah, dan selalu akan tersenyum jika saya berbuat benar. Saya tidak perlu lagi menunjukkan sebuah foto kemudian bercerita kepada beliau tentang apa saja yang saya lakukan dalam foto tersebut, beliau sudah melihat sendiri salah benar tindak tanduk saya dari sana. Ayah saya bahkan kadang terasa lebih dekat dari sebelumnya, bahasanya tidak lagi melalui raga, tapi rasa.

Kehilangan seseorang sebenarnya bisa diartikan lebih luas. Bisa diartikan sebagai kehilangan seseorang untuk selama-lamanya karena mereka harus pergi meninggalkan dunia, bisa juga diartikan sebagai perginya seseorang dari dalam hati kita. Dua hal yang sebenarnya berbeda, namun juga sama. Untuk yang manapun kasusnya, sederhananya, memiliki dan kehilangan itu satu paket. Jika takut kehilangan maka berhenti saja memberanikan diri untuk memiliki.

Yogyakarta, 08 Mei 2014

Minggu, 04 Mei 2014

PULANG KE JOGJAKARTA



 Sebenarnya saya benci harus menulis ini, menulis sesuatu yang tak lama lagi berubah menjadi kenangan karena mungkin harus segera ditinggalkan. Tapi kini memang tiba saatnya saya harus menuliskannya, menuliskan salah satu bagian dalam hidup yang wajib untuk saya abadikan agar kelak tak lekang oleh zaman. Seperti yang selama ini saya yakini, tulisan adalah simbol keabadian, usianya bahkan bisa lebih panjang daripada ingatan bahkan usia orang yang membuat tulisan itu sendiri. Jadi, bagian penting dalam hidup wajib hukumnya untuk diabadikan dalam tulisan.

            Kali ini tentang Jogjakarta. Saya tidak memaksa siapapun untuk percaya bahwa saya mencintai kota ini bahkan sejak sebelum saya menetap selama 4 tahun terakhir di kota ini, saya sendiri bingung entah bagaimana bisa. Empat tahun lalu, ada sesuatu yang secara naluriah tiba-tiba mendorong saya untuk mendaftarkan diri di salah satu Universitas Negeri di Jogjakarta secara diam-diam tanpa sepengetahuan orang tua saya. Itu saya lakukan karena pada awalnya mereka tidak mengijinkan saya untuk merantau jauh sampai ke kota ini. Beruntungnya, nasib berpihak kepada saya hingga saya diterima di universitas tersebut dan orang tuapun pada akhirnya merestui pilihan saya. 

Jogjakarta itu adem ayem. Jangan dikira adem ayemnya Jogjakarta karena masyarakatnya homogen, karena nyatanya masyarakat disini sama sekali tidak homogen. Jogjakarta justru kaya akan perbedaan, orang-orang dari berbagai suku dan agama hidup disini. Ajaibnya, di kota ini perbedaan justru menciptakan kenyamanan, toleransi tak perlu dikoar-koarkan karena sudah terjunjung tinggi dengan sendirinya, pemimpin menjadi sosok yang dicintai dan bukannya ditakuti, seni membumi disetiap sudut karena dihargai setiap denting dan lekuknya, keeleganan tradisi tetap terjaga dari waktu ke waktu, kesederhanaan dan ketradisionalan tak pernah kalah dan lenyap ditelan modernisasi, pemikiran-pemikiran kritis terus tumbuh di lingkungan pendidikan yang menjamur. Jogjakarta, miniatur kekayaan Indonesia.

Sementara bagi saya secara personal, Jogjakarta adalah tempat saya menimba ilmu, tempat saya belajar memanusiakan manusia dengan keramahan orang-orangnya, tempat saya melihat sebuah pertunjukkan spektakuler hujan meteor di langit malam pantai parangkusumo, tempat saya mencapai titik tertinggi dalam hidup saya dengan menanjaki dan menyusuri lekuk gunung merbabu, tempat saya menyebut orang-orang baru yang tadinya asing sebagai keluarga, tempat saya menemukan sahabat-sahabat sejati, tempat saya bertemu secara langsung dengan band legendaris favorit saya dari jaman SD, Sheila on 7, tempat saya belajar menjadi lebih dewasa, tempat saya mengerti betapa hidup itu perlu perjuangan, namun ada saatnya untuk mengambil nafas dan menikmati moment dari satu waktu ke waktu tanpa harus setiap saat memperlakukan hidup seperti arena balap lari.

Jogjakarta, tempat saya menemukan kamu, ya, kamu. Kamu adalah Jogjakarta atau Jogjakarta adalah kamu, mana yang benar? Entahlah, bagi saya itu tidak perlu diperdebatkan karena kamu dan Jogjakarta sama-sama pernah mewakili definisi cinta dalam hati saya. Kamu menjadi bagian abadi dari kota ini, tidaklah mengherankan jika kamu tidak pernah mau meninggalkan kota ini.

Ini seperti semacam sistem kontrak, masa studi sudah berakhir, dengan demikian izin tinggal saya di kota inipun tak lama lagi akan habis. Ketika saya masih merantau di Jogjakarta, kata “Pulang” sewajarnya didefinisikan sebagai kembalinya saya ke kota asal saya tercinta. Namun mendadak kata “Pulang” memiliki makna yang fleksibel bagi saya, tolong jangan protes. Kelak ketika saya sudah berada disana, kata “Pulang” bagi saya telah berubah definisinya. “Pulang” adalah kembalinya saya ke Jogjakarta, saya pasti pulang suatu hari nanti. 

Jogjakarta, jangan usir saya dari sini, ijinkanlah saya untuk selalu pulang lagi, bila hati mulai sepi tiada terobati.

Separuh dari hati saya, saya tinggalkan di kota cinta ini.




Di salah satu sudut kota Jogjakarta,
4 Mei 2014