Saya sedang bosan
dengan prolog, saya malas berbasa basi.
Begini saja, apakah
kamu mau tahu? Saya kehilangan seseorang yang entah kenapa rasanya begitu nyaman
untuk diajak berbicara, baik empat mata maupun dengan sekian ratus pasang mata
disekitar saya dan dia. Seseorang yang bukannya menutup telinganya rapat-rapat jika
saya mengomel tetapi justru menatap mata saya sambil tersenyum seolah menanti
kalimat demi kalimat yang keluar dari
mulut saya, hingga membuat saya bingung sendiri dan tak tahu harus seperti
apa lagi menghadapinya. Seseorang yang kuantitas bicaranya kadang melebihi kuantitas
bicara saya hingga saya kewalahan memotong pembicaraannya dan harus setengah
berseru “Hei dengerin aku, dengerin aku dulu”, barulah setelah itu saya bisa
bicara. Seseorang yang jarang marah, tapi sekali marah jelek sekali, diam
seribu bahasa. Kalau sudah begitu, maka saya harus membiasakan diri untuk rela menjadi
seperti seorang loper koran yang mengantarkan koran untuk ia baca di layar gadgetnya
tanpa dikirimi balasan.
Apakah kamu mau
tahu? Saya kehilangan seseorang yang seringkali mengaku bahwa dirinya adalah
penjahat. “Harusnya kamu buru-buru pergi dan menjauh” bukan sekali dua ia
memperingatkan. Sesekali saya menatap matanya sambil tersenyum seolah ingin
bilang “Iya. Apalagi ? katakan saja semuanya”. Saya bukannya tidak tahu dan
tidak sadar dengan siapa saya sedang berhadapan. Dia penjahat yang paham betul
dengan apa yang disebut dengan kejahatan, hanya saja kadang perkara salah dan benar
yang hakiki tidak berlaku dalam dunianya, dia punya undang-undangnya sendiri
disana, begitu saya menyimpulkan. Sesekali, terbersit keinginan saya untuk
mencalonkan diri sebagai anggota legislatif di dunianya agar punya sedikit hak
untuk mengamandemen peraturannya, tapi tidak bisa, aturan itu dia yang punya. Saya
lalu belajar mengerti tentang hak prerogative seseorang atas hidupnya. Saya kalah
melawan penjahat. Kalau begitu saya ingin menjadi teman penjahat saja tanpa
harus ikut-ikutan jadi penjahat, itu yang ada di benak saya. Toh dia adalah penjahat yang baik hati sebenarnya. Tapi dia tidak mau.
Agaknya ia khawatir saya akan ikut-ikutan menjadi penjahat. Katanya saya tidak
boleh menjadi bodoh seperti itu, padahal dia sendiri tidak kalah bodoh dibanding
saya. Kami memang sama-sama bodoh, kadang memang begitulah kenyataannya.
Adalagi yang
ingin kamu tahu? Saya kehilangan lawan debat. Susah sekali bagi saya untuk
menemukan lawan debat yang sepadan, yang kualitasnya tidak berada dilevel atas juga
tidak dilevel bawah, yang tertarik untuk memperdebatkan apa saja bahkan hal yang
tidak begitu penting sekalipun. Dia bilang A saya bilang B, begitu seterusnya. Tapi
yang membuat saya senang adalah karena pada akhirnya kami selalu berdamai, tanpa
ada yang keluar sebagai juara. Pendapat tidak harus selalu sama kan? Begitu kebenaran
tertinggi kami, satu-satunya hal yang bisa kami sepakati diantara ketidaksepakatan
kami pada beberapa hal yang kami perdebatkan sebelumnya.
Mau tahu lagi? Saya
kehilangan seseorang yang seringkali bilang bahwa saya ini sok tahu. Seseorang yang
biasanya menginjak pedal rem jika saya mulai berbicara dan memprediksi
setelah ini semua akan blablabla, setelah itu semua akan blablabla, mereka tidak akan begini
karena blablabla, mereka tidak akan begitu karena blablabla. Saya kehilangan
seseorang yang dengan tegas berkata “sok tau” ketika saya berbicara semua hal
yang sebenarnya saya sendiri ragu akan kebenarannya. Saya harus menginjak pedal
rem itu sendiri sekarang.
Sudah cukup,
adalagi yang ingin kamu tahu? Saya kehilangan seorang dewasa yang kadang tak
bisa menyembunyikan jiwa bocahnya, otomatis saya juga kehilangan moment dimana
saya bisa menjadi dewasa seutuhnya dihadapannya. Saya kehilangan
seseorang yang dilain waktu gantian membuat saya tak bisa menyembunyikan jiwa
kekanak-kanakan saya. Saya kehilangan seseorang yang berkata “Gak usah sok tegar” saat saya
sebenarnya memang sedang tidak baik-baik saja.
Mau tahu lagi
apa saja yang hilang? Kebisuannya menggambarkan kehilangan saya akan banyak hal,
dan itu tidak bisa dijabarkan satu persatu. Kalau mau tahu, lihat saja
bagaimana ia diam. Diamnya adalah bentuk kehilangan saya. Itulah kenyataannya. Satu
hal lagi yang harus kamu tahu, tak butuh waktu lama memiliki untuk pada
akhirnya merasa kehilangan sebanyak itu.
Saya tidak
mengerti kenapa orang sering berbicara mengenai perkara pantas dan tidak
pantas. Sementara yang saya tahu jika
dua orang saling cinta dan berkomitmen untuk setia sampai lanjut usia
berhak untuk saling memiliki satu sama lain. Masa lalu selalu memiliki hak untuk
dimaafkan, dan masa depan selalu memiliki hak untuk diberi kesempatan.
Saya tetap disini, tidak mencarinya lagi. Dia akan pulang jika ia mau, tepat pada kesempatan kesekian yang ia punya,
saat ia sanggup berkata “Mulai kini dan
seterusnya saya akan baik-baik saja, kamu akan baik-baik saja, kita akan
baik-baik saja.”
Tanjung, 24 Juli 2014.