Laman


Kamis, 28 Agustus 2014

BE ACCEPTABLE ON WHAT’S BEYOND YOUR ABILITY

“Kamu hanya butuh waktu. Luka dibadan saja butuh waktu untuk sembuh.” Kata seorang sahabat dalam perbincangan kami pada suatu malam. Saya terdiam sejenak. Kalimat itu menyeret saya pada tahunan silam, saat saya yang masih berseragam putih abu-abu dengan penuh kepastian meyakinkannya pada kalimat serupa. Tak lama kemudian sahabat saya itu tertawa penuh kemenangan, disusul dengan gelak tawa konyol saya yang baru tersadar dengan siklus kalah dan menang yang sedang berputar. Sial, batin saya.

“Butuh waktu sekian tahun bagi saya untuk membalas kamu dengan kalimat itu. Akhirnya…” katanya lagi. Kalimat yang pernah saya ucapkan itu sebenarnya tak hanya melintas di sepanjang tahun yang kami lewati, saya yakin ia telah melintasi banyak jaman sebelumnya. Para pujangga tak sembarang merumuskannya. Dibutuhkan peristiwa demi peristiwa, saksi demi saksi,  yang menguji keabsahannya dari waktu ke waktu hingga kalimat ini menjadi sedemikian klasik dan sulit dibantah walau jaman telah berganti.

Sahabat saya mendengar kalimat itu saat barangkali saya belum benar-benar mengerti dengan apa yang saya ucapkan. Beruntungnya telinga dan mata saya waktu itu telah cukup awas untuk memperhatikan kalimat klasik itu hadir di televisi, di majalah, atau entah darimana asalnya, saya lupa. Keawasan itu saya sejajarkan dengan logika yang sangat amat sederhana, bahwa jika ada bagian tubuhmu yang terluka dan membuatmu berdarah, diobati dengan obat merah sekalipun, tetap saja tidak mungkin  luka tersebut kering dan hilang dalam sesaat. Dibutuhkan detik, menit, jam, bahkan hari demi hari untuk menyembuhkannya.

Waktu menyembuhkan segala luka. Serahkan saja pada waktu dan… Simsalabim abrakadabra… luka akan sembuh. Syaratnya barangkali hanya satu, serahkan keyakinanmu bahwa ada banyak hal di dunia ini yang berada diluar kendalimu. We can’t carry the weight of the heavy world, right ? Itu berada di luar kendali kita, di luar kuasa kita. Kadang kita lupa mengimaninya sehingga kita terus menyangkal, menolak, dan bahkan memaksa. Padahal semua itu hanya akan membuat batin kita lelah, dan frustasi bisa menjadi dampak selanjutnya. Saya menduga, bukan tidak mungkin itu pula yang menjadi salah satu faktor yang membuat beberapa artis ternama dunia memutuskan untuk bunuh diri setelah merasa bahwa dirinya tak lagi tenar seperti dulu. Bisa jadi mereka terlalu percaya bahwa segala sesuatu yang mereka dapatkan adalah karena mereka, tepatnya karena kekuatan yang berada di dalam diri mereka sendiri, tanpa ada kekuatan magis lain yang mengendalikan. Sehingga ketika tiba saatnya pesona mereka tak lagi mampu memikat dunia, mereka terus memaksakan diri dengan berbagai cara. Jika tetap tak bisa, maka mungkin setelah itu mereka akan mengutuk diri sendiri, frustasi karena tak bisa apa-apa dan merasa tak berguna lagi hidup di dunia. Lupa tentang hal-hal yang sebenarnya memang ada di luar kendali.

Remember that there are a lot of things in this world are beyond of your ability, it’s not yours, it’s God’s. Bagi saya itulah hakikat sebenarnya ketika waktu diatasnamakan sebagai penawar dari sebuah luka. Ada kalanya kita harus menerima dan sadar bahwa kendali tak selamanya berada di tangan kita. Waktu akan menjawab setepatnya. Jangkanya ? It’s not only depends on how much you can trust it can be healed, but also depends on how good you can control your ego by accepting what’s beyond your ability.

Tanjung, 28 Agustus 2014

Minggu, 17 Agustus 2014

Indonesia di Satu Sisi Koin



Ini tentang sebuah negara yang kemerdekaannya dikumandangkan sejak tahun 1945. Terhitung 69 tahun sejak hari itu, hari ini kalimat itu menggema lagi dari ujung Sabang hingga Merauke. Semua merayakannya. Meskipun kondisi jobless pasca lulus ini membuat saya tidak bisa bernaung dibawah nama sebuah instansi untuk ikut serta memperingatinya dalam sebuah upacara, saya tetap memperingati 17 agustus walau hanya lewat cuap-cuap di blog ini saja.

Sesederhana dua sisi yang dimiliki oleh sebuah koin, Indonesia pun memiliki dua sisi yang secara garis besar dapat kita renungi, sisi baiknya dan sisi buruknya. Dan di hari ulang tahunnya ini, setelah memposisikan kepingan koin itu diantara ibu jari dan telunjuk tepat didepan mata, saya memilih untuk menjatuhkan koin tersebut dengan sisi baik tentang Indonesia berada di atas, membiarkan ia menjadi sisi satu-satunya yang saya lihat di hari spesial ini. Menatap satu sisi, bagaimanapun tak sama halnya dengan menatap dua sisi, yang kadang justru membuat bimbang dan ragu apakah benar kita bisa maju mengingat masih ada sisi buruk satunya yang melekat disisi yg lain. Satu sisi, yang jika keutuhannya sanggup kita lihat lebih dalam mungkin saja mampu membuat kita menjadi lebih bangga, lebih nasionalis, bahkan lebih optimis dari sebelumnya.

Saya bangga menjadi orang Indonesia. Jika melihat sejarah, bangsa ini berdiri dengan perjuangan sendiri yang didukung oleh kecerdasannya, keberaniannya, dan kerelaannya dalam berkorban. Dengan darah, serta semangat menyatukan segala perbedaan, proklamasi di 17 agustus 1945 dapat dikumandangkan.

Saya bangga tumbuh dalam keberagaman. Bangsa kita terdiri atas lebih dari 900 suku bangsa, 400 lebih bahasa daerah dan dialek dengan warisan adat istiadat, cara hidup dan kearifan masing-masing. Ada bermacam-macam upacara budaya, busana, tarian, musik, dan seni tradisional lainnya, serta berbagai makanan khas daerah. Berbagai karya budaya seperti wayang, keris, batik, angklung, dan tari saman serta banyak lagi kebudayaan lain telah diakui pula oleh organisasi dunia, UNESCO, sebagai warisan budaya dunia.

Saya bangga hidup di negeri indah yang dikenal dengan penduduknya yang ramah, tanahnya yang subur, dengan lebih dari 17.500 pulau yang membentang sepanjang tidak kurang dari 5.000 kilometer dari ujung timur hingga ujung barat. Sungguh, kita akan tersadar Indonesia itu indah kalau saja kita mau menjelajah dan mencari tahu sendiri keindahannya.

Indonesia juga memiliki banyak orang pintar. Posisi geografis tempat lahir dan tumbuhnya seseorang tidak mutlak menjadi factor penentu berkembangnya kualitas pemikiran seseorang. Yang terlahir di Indonesia pun bisa memiliki kualitas yang sama dengan mereka yang berasal dari negara lain yang lebih maju. Bahkan baru-baru ini, Erica Kaunang, gadis cilik berdarah Kawanua asal Indonesia berhasil masuk deretan siswa paling pintar di New York Amerika pada acara National Junior Society Induction Ceremony, award bergengsi di dunia pendidikan Amerika. Bukan hanya Erica Kaunang, bukan hanya Pak Habibi, tanyakan lebih lanjut pada mbah google dan dia akan memperkenalkan pada kita contoh orang-orang pintar Indonesia yang mungkin banyak dari kita tidak mengetahuinya.

Saya bangga menjadi orang Indonesia, saya bangga untuk banyak alasan-alasan lainnnya. Saya bangga untuk setiap langkah kedepan Indonesia yang jikapun masih satu, tetap dikatakan selangkah lebih maju, dan bukannya diam di tempat, apalagi mundur. 

Lalu bagaimana dengan sisi koin yang satunya?
          Pemberitaan di media masa tentang sejumlah problematika yang dihadapi oleh negara ini telah menjadi layaknya produk tak inovative yang ditawarkan oleh sesosok sales aneh yang tak bosan datang kerumah setiap harinya. Menemui hal yang sebenarnya itu-itu saja lama-kelamaan membuat kita muak. Bukannya apatis dan tak mau tahu, tapi kebanyakan mengkonsumsi berita negative mungkin saja akan membentuk pola pikir yang lebih mengarah ke sisi negative pula, maka jangan heran jika orang lebih banyak terbiasa meratapi masalah ketimbang memikirkan solusinya.

Jika tidak bisa setiap hari memulihkan ingatan kita sendiri tentang betapa hebatnya negeri ini, maka setidaknya untuk hari ini saja, biarkanlah mata kita melihat sisi hebat dari Indonesia, biarkanlah kita berbangga menjadi Indonesia. Bagaimanapun seseorang akan berani menghadapi masalah didepannya jika ia bangga dan percaya pada kehebatannya sendiri.


Saya produk Indonesia, bangga menjadi seorang Indonesia.
Selamat hari kemerdekaan !
Merdeka ! :D

Tanjung, 17 Agustus 2014

Jumat, 15 Agustus 2014

I'm not Perfect

Dear you,
Even
if tears still drop on my guitar, I’d like to say that you are not the one to blame.
It was also my fault.

I was wrong for leaving you when we still didn’t have monumental moments as the foundation of a new home we just  build. I was so busy for the sake of my world, not your world, for the sake of my planning of life, not yours. I took too much time and everything for my pleasure, and it's not even yours

I was wrong for let this be so unfair. I wished you can move from the world where you’re before for the reason of a better life. But I was not beside you when you're trying to move. You fighted alone and I was too busy in my world at the same time. I let you fighted alone.

 I was wrong, I couldn’t be your Saras 008, the superhero who can save you anytime and anywhere you need. When the criminal came and looked for you, I couldn’t come in a seconds to protected you from her then made an amazing escape with me.  That’s why you have to call Saras 009, 010, or whatever she is with any number to came. I swore to you I wish I could save you that night.

I was wrong, I thought you are strong enough to just wait for my coming. I told you that it would only be a while and I promised you I would come back soon. It wouldn’t be longer for us to be on the same side, moved as we could, fighted for a better life as we wanted.  I was wrong for believing you can stand it all, but it was too hard for you to did. You've finally given up.

I'm sorry I’m not perfect.



Tanjung, Augst 15th 2014

Kamis, 07 Agustus 2014

Pulang dan Pergi



Malam itu Boeing 737 itu membawa kamu pergi, mengudara semakin jauh dengan kelap-kelip lampu kota yang semakin redup tertinggal dibawah sana. Kamu selalu memimpikan bisa melihat bintang dalam penerbangan malam semacam ini, setidaknya untuk menenangkan hatimu yang sesungguhnya selalu ketakutan berada di dalam burung besi. 

Dalam hitungan jam kamu akan tiba dirumah, tempat keluarga dan segalanya yang selama ini kamu tinggalkan. Ada sebuncah kegembiraan yang selama ini mengendap karena terhalang bendungan besar bernama jarak, tapi malam ini bendungan itu runtuh sudah, ditubruk burung besi yang sekaligus mengembalikanmu ke titik koordinat dimana kamu pernah menetap lama sebelumnya. Sensasi itu, semua perantau pasti merasakannya. Di sisi lain kamu kebingungan, lama menginjakkan kaki di tanah orang lain menjadikan kamu bingung untuk menyebut mana yang harusnya disebut sebagai rumah. Kamu mendadak menjadi  seperti manusia setengah amfibi yang nyaman hidup di dua alam.  

Pesawat berguncang lagi, kali ini cukup lama. Mereka bilang cuaca buruk dan tetaplah gunakan sabuk pengaman demi keselamatan. Kamu diam mendengarkan degup jantungmu sendiri sambil mencoba percaya apa kata mereka. Sebenarnya otakmu sibuk bertanya-tanya bagaimana bisa sabuk pengaman berbuat banyak jika seandainya pesawat harus jatuh dari ketinggian sekian ribu kaki. Bagian otakmu yang lain sibuk membayangkan hiu-hiu dibawah sana yang siap merobek dinding pesawat dengan taring-taringnya yang  tajam, lalu akhirnya menemukanmu yang terperangkap didalam. Satu-satunya yang bisa menetralkan otak hiperaktifmu dalam keadaan seperti ini adalah mengingat mereka yang sedang menunggumu dirumah.

Kamu membayangkan akan tiba dirumah sekian jam lagi. Saat semua  barangkali masih terlelap kamu akan mengetuk pintu rumah dan menghambur seolah kamu tak akan pergi lagi. Lalu ketika hari sudah cukup terang kamu akan melihat arena dimana dulu kamu kecil sering menghabiskan waktu. Melihat pohon rambutan yang delapan tahun lalu kamu tanam didepan rumah. Ibumu bilang pohon itu sudah berbuah dalam 4 musim, tapi tak sekalipun kamu melihat dan merasakannya di indra kecapmu. Kamu selalu pulang saat mereka tak berbuah. Kamu lalu melihat anak-anak di lingkungan rumahmu, mereka pasti sudah menjadi lebih besar sekarang.  Tapi masalahnya adalah mereka pasti akan sesaat menatapmu seolah kamu ini orang asing yang sedang singgah di lingkungan mereka sebelum akhirnya sadar bahwa kamu adalah orang yang sebenarnya mereka kenal.

 Apa rasanya sesaat menjadi orang asing di tanah sendiri seperti itu? Kamu melewatkan banyak hal, melewatkan saat ada orang yang datang lalu pergi, melewatkan saat kamu harusnya bisa berbangga menjumpai pohon rambutanmu sudah bisa berproduksi, melewatkan momentum-momentum kekeluargaan yang harusnya melibatkanmu serta, melewatkan segalanya yang semakin menua, dan banyak hal lainnya. Kamu kehilangan moment demi moment ketika kamu pergi, ketika kamu sibuk mengejar cita-cita, ketika kamu sibuk mencari tahu siapa dirimu diluar sana. Kamu tukar moment demi moment  itu dengan sibukmu di pulau antah-berantah. Lalu masih… kamu membayangkan akan pergi lagi setelah ini. Demi apa?

Ada yang bilang bahwa anak panah tidak akan pernah mencapai sasaran jika tidak tinggalkan busurnya. Kamu rasa kata-kata itu sangat masuk akal dan wajar. Ada kalanya seorang anak harus pergi demi mencapai apa yang ia ingin tuju, dengan berbagai resiko tentunya, termasuk kehilangan moment-moment itu, ditambah lagi kadang ia harus menghadapi tatapan sinis dari orang lain, saat ia bisa saja justru terlihat kejam karena terlalu lama memutuskan untuk meninggalkan keluarganya, rumahnya, tempat ia dibesarkan. Tak semua orang bisa memahaminya. Resiko itu adalah harga yang harus dibayar dan ia bukannya tidak tahu hal itu ketika memutuskan.

Dimanapun berada, anak panah tetaplah anak panah, busur sesungguhnya selalu tahu kenapa ia harus melepaskan, hanya busur yang paham, orang lain tidak. Bagaimanapun setiap orang punya pilihannya sendiri, punya jalan yang ingin dilaluinya masing-masing. Jika sekarang ia ingin A maka bukan tak mungkin suatu saat ia ingin B. Jika sekarang ia ingin pergi maka bukan tak mungkin suatu saat ia ingin kembali.  Tapi hanya sedikit yang mengerti bahwa dibutuhkan serentetan peristiwa atau proses untuk membawanya hijrah dari A menjadi B. That’s the way they are happy, that’s the way they live. Moga-moga tak terlalu egois bagi seseorang untuk berani mengatakan itu.

Tak semua orang bisa mengerti hidup macam apa yang bisa membuat seseorang bahagia, hidup macam apa yang membuat dunianya tetap berotasi. Dunia itu bukan seperti planet bumi yang tetap berotasi bahkan ketika dirinya diam ditempat. Dunianya butuh dirinya sebagai penggerak, semacam mainan putar-putaran yang seringkali dijumpai di arena bermain taman kanak-kanak, baru berputar ketika ia sendiri bergerak.

Terdengar nada tanda lampu sabuk pengaman telah dimatikan. Kamu boleh lega karena cuaca buruk sudah lewat meskipun pesawat masih sesekali berguncang. Tak apa, Pak Habibi bilang itu justru tanda bahwa pesawat normal dan tak ada bagiannya yang retak. Bagaimanapun kamu harus berterima kasih padanya, ia akan mengantarmu pulang, juga masih mungkin untuk membawamu pergi lagi.

Jumat, 01 Agustus 2014

A small village with a big memory



Beberapa tahun yang lalu, saya pernah menceritakan tentang sebuah kampung kepada seseorang. Saya bercerita tentang bagaimana kampung itu berdiri, bagaimana kondisi disana, dan apa yang akan didapat sepulang dari sana. Pada saat itu sifat sok tahu saya mungkin berlebihan, tak ada sumber referensi dari orang lain secara langsung yang berhasil saya dapatkan sebenarnya. Apa yang saya ceritakan hanya berdasarkan apa yang dikatakan oleh google, si sok tahu dari dunia maya yang beruntungnya dipercaya oleh banyak orang di berbagai penjuru dunia nyata. Sebagaimana saya tertarik untuk tahu tentang tempat itu lalu bertanya pada google, seperti itu pula seseorang tersebut tertarik lalu bertanya tentang tempat itu pada saya. Seingat saya, tak ada yang lebih antusias daripada dia. Itu terlihat dari cara ia mendengarkan saya, cara ia membaca brosur yang saya cetak, pun caranya mengiyakan keinginan saya untuk pergi kesana “Ya, kamu harus pergi kesana suatu hari nanti.” begitu katanya. Dalam hati saya berjanji padanya“Ya, saya pasti kesana”

Pare. Itulah nama kampung yang pernah saya ceritakan. Sebuah tempat yang sangat direkomendasikan bagi siapa saja yang ingin mendalami bahasa ibu dari beberapa negara di dunia, bahasa Inggris, itulah kenapa tempat ini dijuluki sebagai English Village. Meskipun selama ini kemampuan bahasa inggris saya pas-pasan, tapi entah kenapa saya menyukai bahasa ini dari dulu. Itulah salah satu alasan kenapa saya ingin pergi ke tempat ini.

Juni 2014, ini menjadi bulan ulang tahunnya. Entah ini lebih tepat disebut sebagai kado atau apa, saya pun berangkat dari Jogja menuju Pare di bulan yang sama. Bersama seorang teman saya, Kiki, saya menjejak tanah Pare pada 11 Juni pukul 7 malam, tepat di depan lembaga yang akan menjadi tempat kursus kami sebulan kedepan. Pare sekilas sama seperti kampung–kampung di pulau Jawa pada umumnya, dengan jalan-jalan kecil yang sebagian masih tak beraspal, juga dengan sawah dan ladang yang mudah ditemui di kiri kanannya. Yang sedikit membuat berbeda adalah karena tempat itu diramaikan oleh lalu lalang anak muda yang entah darimana saja asalnya. Satu hal yang pasti, mereka pasti pernah menjadi seperti kami, anak muda bertampang lusuh disertai backpack atau koper besar yang untuk pertama kalinya menjejak tanah Pare dengan sedikit tampang kebingungan butuh arahan. Ya, itulah wujud para pendatang saat baru tiba di Pare.

Saya dan Kiki tinggal di sebuah camp dalam satu kamar yang diisi oleh 4 orang, kami akan tinggal disini kurang lebih selama satu bulan. Bisa dibayangkan betapa akan jadi terasa sangat sempit kamar ini jika penghuninya sedang berkumpul semua. Belum lagi saya harus direpotkan dengan sebuah kebiasaan baru yang mau tidak mau harus saya jalani, bangun sesubuh-subuhnya untuk mengantri mandi dan kemudian pergi ke tempat kursus dengan langkah kaki secepat mungkin agar segera sampai karena kelas dimulai pada pukul 05.30 setiap harinya. “What ? ini jadwalnya nggak salah Ki?” saya meyakinkan pada Kiki. Ada ya? Kelas yang mulai jam segini? Yang benar saja? Bahkan kampus kami selama inipun tak pernah melatih kami untuk memulai aktivitas belajar sepagi ini. Tapi apa mau dikata, inilah kebiasaan baru yang harus kami mulai.

Beberapa hari berlalu, hampir tak ada yang spesial dari kampung ini. Kegiatan saya benar-benar monoton, mengikuti kegiatan kursus dari dini hari sampai pukul 11.30 siang lalu pulang dan menghabiskan sisa waktu diatas tempat tidur dengan gadget ditangan, tak bisa pergi kemana-mana karena kami belum menyewa sepeda sebagai alat transportasi sementara disana.  “Bosen, tiap hari begini terus” begitu Kiki bilang. Ya, saya mengiyakan. Bagaimanapun saya merasakan apa yang Kiki rasakan. Terkurung dalam dunia sempit begini bukanlah sesuatu yang menyenangkan, bahkan mengerikan mengingat kami akan menghuninya selama satu bulan kedepan. Tempat ini pasti akan terasa tak ada bedanya dengan penjara. Saya mulai melongok dan bertanya ke dalam diri saya sendiri, untuk semua inikah saya harus menepati janji dan datang ke tempat ini?

Tak genap seminggu di Pare, segalanya mulai terasa berbeda. Saya menemukan alasan demi alasan berharga kenapa saya harus datang ke tempat ini. Pare, mendadak menjadi semacam dunia dengan ruang dan dimensi lain dari dunia tempat saya berada selama ini. Kampung ini menjadi tempat dimana saya memulai segalanya dari nol, dengan orang-orang baru, lingkungan baru, yang pada akhirnya lebih senang saya sebut dengan istilah keluarga baru. Bahkan, tempat ini bisa menjadi tempat yang cocok bagi siapa saja jika ingin melarikan diri sejenak dari kegalauan hati, karena ditempat ini kita tak akan pernah sendiri, selalu ada teman-teman yang menemani dan berbagai aktivitas yang minta diiisi.

Kelas program yang saya ambil terdiri dari 13 orang dan kami selalu bersama setiap harinya. Tak heran jika kami tak butuh waktu lama untuk saling klop satu sama lain. Ada Ian si tetua Pare dan tahu banyak tentang Pare, yang doyan nolongin temennya yang lagi butuh bantuan, ada bang Fikar si pecinta alam yang ekspresinya tak tertandingi jika berbicara dalam bahasa Inggris, ada bang Fuad pencetus kata-kata fenomenal yang jadi trendsetter di kelas “You’re amazing, professional, kalian luar biasa, face it like a man”. Ada bang Wisnu anak Jakarte yang doyan nguber uber cewek tapi senang berbagi rejeki seperti dewa wisnu yang suka memberi, ada si Dewa yang sering bilang “ee buseeettt” dan kalo difoto ekspresinya serius pake banget, ada bang Hilman pecandu game yang keliatan pendiem tapi kalau udah ngomong suka bikin ngakak, ada Ipul yang dari stylenya tak disangka dan tak diduga ternyata anak jurusan tafsir Al Qur’an, ada Ezzy si bocah yang tertarik ngomongin politik dan suaranya kenceng abis, ada Firda si gadis rajin yang selalu duduk di barisan depan dan kata anak-anak tidak cocok duduk dibelakang, ada Ani si gadis pencari tembok yang selalu mencari posisi duduk sedemikian hingga bisa bersandar di tembok selama pelajaran, ada Dini si admin grup WA yang doyan banget difoto, dan tentunya ada Kiki si sohib kalem yang selalu membersamai langkah-langkah saya dari Jogja hingga kembali ke Jogja lagi. Ditambah lagi anak-anak camp yang baik hati dan tidak sombong, Lia, Reta, mbak Yuyun, Rizky, mbak Mita, mbak Widya, mbak Ria, dll, sungguh beruntung dan menyenangkan bertemu penghuni camp yang welcome seperti mereka.

Bersama mereka, lalu suasana belajar saya disana terasa menyenangkan. Karena ada mereka, lalu sempat saya terpikir untuk tidak buru-buru pulang.  Karena hal-hal gila yang pernah saya lalui bersama mereka, lalu saya terpikir untuk kembali ke tempat itu lagi suatu hari nanti. Mereka yang semangat belajarnya tinggi, mereka yang rela jauh-jauh datang ke tempat ini demi mengumpulkan bekal untuk masa depan yang lebih baik lagi, mereka yang haus pengalaman dan senang pergi kesana kemari. Mereka yang kadang juga gila namun membuat saya senang menjadi bagian dari mereka. Saya belajar banyak hal dari mereka, dan itu tidak bisa saya jabarkan satu persatu.

Kini kami kembali ke dunia kami masing-masing. Pare menjadi semacam dunia yang menyenangkan, meski sekilas semu. Orang datang dan pergi silih berganti, hampir tak ada yang permanent. Tak ada lagi pergi bersama kesana kemari naik sepeda onthel mengelilingi kampung, tak ada lagi sarapan serba lima ribu dengan gratis gorengan 2 biji di tempat simbah, tak ada lagi raut wajah yang sama-sama bingung saat scoring IELTS,  tak ada lagi rasa penasaran sampai taruhan kebab saat akan menerima hasil scoring TOEFL dari Miss Irfa, tak ada lagi suara khas Mr Aziz yang senang mencari verb, conjuction, to be beserta keluarga besar grammar lainnya dalam soal structure TOEFL, dan tak ada lagi suara asal ngoceh dengan dialek America, British, sampe Brutush di kelas Speakingnya Miss Gita Gutawa. Semuanya dikemas dalam ruang dan waktu yang singkat dan kini lenyaplah sudah kebiasan-kebiasaan itu. Yang tertinggal adalah ilmu dan kenangannya. Yang tersimpan sebagai pembuka kenangan adalah ratusan foto kebersamaannya. Yang tercetak dan bisa jadi bekal formal adalah sertifikat dan hasil belajarnya. Yang jadi saksi adalah tempat-tempatnya, ruang kelas, Gumul, depan mushola tempat ngumpul sebelum scoring, tempat makan, tempat nongkrong, hingga kawasan Bromo. Tapi, berdiri diatas segalanya, yang permanent adalah persaudaraannya. Semoga tidak akan lekang oleh waktu.




***

Mobil ditengah malam itu menderu meninggalkan Kampung Inggris, membawa saya dan Kiki  yang lebih banyak diam karena menyimpan perasaan beragam. Ada senang dan sedih yang mau tak mau harus kami bawa pulang. Kursus telah berakhir dan kami harus pulang sedikit lebih awal dibanding teman-teman yang lain, kembali ke dunia kami dan menghadapi kenyataan di dimensi lain yang menanti untuk dihadapi. Saya memandang keluar jendela mobil meski sebenarnya tak banyak yang bisa dipandang karena gelapnya malam, terdiam dan teringat Farewell party dengan teman-teman beberapa jam lalu. Saya tak menyangka akan melakukan perpisahan sesedih ini, di Pare, a small village with a big memory.

Saya mengerti sekarang, untuk alasan apa saya harus pergi ke tempat itu. Janji itu sudah saya tepati, meskipun tak akan pernah bisa saya jumpai lagi ekspresi itu, ekspresi antusias dari seseorang jika saja ia mendengar saya bercerita tentang tempat itu berdasarkan pengalaman nyata dan bukannya hasil bertanya pada google semata. Tak perlu saya bercerita, Tuhan pasti sudah memberitahunya. That’s for you Dad.

Tanjung, 01 Agustus 2014.