“Heh, Kembalikan
sepatuku !” Teriak seorang gadis kecil di sela keramaian kelasnya di jam
pelajaran yang saat itu sedang kosong. Seorang bocah lelaki kecil penghuni
kelas yang sama bukannya mengembalikan, malah melempar-lempar sepatunya kesana-kemari
sambil menjulurkan lidahnya memancing amarah. Gadis kecil itu geram bukan
kepalang. Menyeruak keramaian anak-anak lainnya, melompati kursi dan meja, dikejarnya
bocah lelaki yang membawa sebelah sepatunya. Si bocah lelaki semakin berlari tak
terkendali, ke tengah, kesudut, hingga ke luar ruangan seraya tertawa penuh
kemenangan menggondol sebelah sepatu layaknya sebuah piala.
Si gadis kecil
duduk diatas kursi sambil satu demi satu menyusun nafasnya yang berantakan,
tertunduk, lalu segalanya tiba-tiba menghitam. Kekesalan, kejengkelan,
kemarahan, dan entah apalagi itu namanya yang menyesakkan, tiba-tiba menjadi
satu dan mengalir dari hati yang kemudian bermuara di pelupuk mata,
bertransformasi menjadi sebulir air yang
buru-buru ia hapus sebelum ada orang lain yang melihat. Ditengadahkannya
kembali wajahnya, didapatinya bocah lelaki itu disalah satu sudut ruangan, sedang
menatapnya tanpa sedikitpun rasa bersalah, sesekali tertawa mengejek, belum mau
mengakhiri peperangan konyol itu.
“Saya benci kamu !” teriak gadis itu.
***
2 tahun kemudian…
“Halo pendek.” Sebaris kalimat
terbaca di layar handphone gadis yang beranjak remaja itu dari nomor yang tidak
dikenal.
“Siapa ini? Darimana tahu nomor
saya?”
“Hahaha. Tidak bisa mengenali
saya? Saya dapat nomor kamu dari Tito.” Gadis itu mengernyitkan kening sejenak.
Tito? Tito adalah teman sekelasnya di sekolah sebelumnya. Dan selama mereka
kenal, setahunya Tito hanya memiliki satu teman akrab, dan itu adalah…. Gadis itu menghela nafas
panjang, tak lagi bertanya-tanya. Ia tahu betul siapa pemilik nomor itu. Tidak
salah lagi, itu pasti si pencuri sepatu. Ini mungkin akan menjadi serangan ke
sekian setelah 2 tahun mereka tidak lagi berjumpa karena tempat menuntut ilmu yang
tak lagi sama.
“Ada apa, pendek?” dibalasnya
pesan itu.
“Enak aja pendek-pendek, kamu
yang pendek.”
“Heh, ngacaa, kamu juga pendek,
dan kamu… blablabla…” balas gadis itu lagi. Bocah lelaki itu masih menyebalkan
hingga gadis itu mau tak mau harus membalas dengan cara yang tak kalah
menyebalkan.
Begitulah. Dan
peperangan semacam itu terulang kembali tak jauh beda dengan yang dulu. Wajah
bocah lelaki yang dulu seringkali menjulurkan lidah padanya, kali ini
terwakilkan dengan emoticon :p di layar kaca. Nada mengejeknya yang dulu khas,
kali ini tercetak lewat huruf pada layar kaca yang seolah mengiang-ngiangkan
bagaimana kalimat-kalimat itu terucap langsung dari bibirnya. Peperangan itu,
kali ini dibungkus dalam bahasa teknologi tanpa menghilangkan esensi
ketidakberesan yang telah tertanam diantara mereka sejak 2 tahun lalu.
Bulan berlalu.
Pesan-pesan singkat itu masih berseliweran di udara, tanpa raga yang pernah
bersua. Tema dari pesan-pesan itu hampir tiap harinya hanyalah guyonan, ejekan,
saling menakuti, dan sebenarnya sah-sah saja untuk sekedar hiburan. Tak perlu
ada perjumpaan. Berjumpa kemungkinan besar hanya akan membuat segalanya
bertambah runyam.
Hingga suatu
hari di sela-sela hari mereka yang baik-baik saja, si bocah lelaki mengirim
pesan paling aneh yang isinya menyudutkan dan menyalahkan gadis itu. Si gadis
berkerut keningnya ketika membaca pesan, sungguh ia tak tahu gerangan apa yang
membuat bocah lelaki itu marah besar padanya, tanpa angin tanpa hujan. Merasa
tak salah apapun, si gadis malah balik marah dan melakukan serangan balik. Pada
akhirnya ia tahu bahwa bocah lelaki itu memang tak pernah berubah, ia masih
tetap orang yang sama menjengkelkan dengan yang pernah ia kenal sejak dulu,
suka bertindak semaunya.
Masih tak lepas
dari ingatan, dulu pada saat ulangan bahasa Indonesia, bocah lelaki yang saat
itu memang duduk tepat dibelakang gadis itu tidak bisa melihat soal dengan
jelas sehingga ia harus meminjam lembaran soal padanya. Gadis itu pun
meminjamkan. Giliran gadis itu yang tidak bisa melihat soal dengan jelas, ia pun menoleh kebelakang bermaksud meminjam
lembaran soal pada bocah lelaki itu. Tahu apa yang selanjutnya bocah lelaki itu
lakukan? Tak disangka dan tak diduga, di tengah suasana ulangan yang tentu saja
sepi, tiba-tiba suara cemprengnya itu memenuhi segenap ruangan, “Bu guru, dia mau
nyontek jawaban saya !”. Oh God.
Kali ini bocah
lelaki itu kembali bertindak semaunya. Si gadis pun tak perduli dan membiarkan
bahasa teknologi mereka hancur, ia pun berhak marah, pikirnya. Sejak itu,
segalanya berubah. Dan suatu malam, si gadis menatap layar handphonenya, tanpa
sadar menunggu kicauan-kicauan tak penting dari bocah lelaki yang biasa
mengganggunya, yang membuatnya jengkel namun kadang juga tertawa. Sebenarnya tak
ada yang special, tak ada yang istimewa, sama sekali tidak ada. Lalu kini pertanyaannya
adalah… kenapa harus ada lubang yang kosong? Kenapa harus ada sesuatu yang
rasanya hilang? Kenapa harus ada yang dirindukan? Ia tidak mengerti. Dan betapa
tidak adil ketika kehilangan itu harus disertai dengan ketidakmengertian akan
apa penyebabnya. Tak ada yang lebih konyol daripada disalahkan untuk kesalahan
yang kita tidak tahu apa, dan tak ada yang lebih membingungkan ketika yang
menyalahkan tak mau menjelaskannya.
“Saya salah
apa?”
“…….”
***
5 tahun kemudian…
Lima
tahun bukanlah kurun waktu yang singkat. Tentu saja banyak hal yang terjadi
didalamnya, dalam kehidupan gadis itu yang tak melibatkan bocah lelaki itu
serta, dan dalam kehidupan bocah lelaki itu yang tak melibatkan gadis itu pula
didalamnya. Mereka resmi hidup sendiri-sendiri dalam planet yang berbeda tanpa
pernah berpapasan satu sama lain dalam jalannya revolusi.
Hari ini, jalur
revolusi itu berkata lain. Tanpa sengaja mereka bertemu setelah hampir 7 tahun
tak bertatap muka, setelah 5 tahun tak
pernah mencipta bahasa satu sama lain dan pasrah dalam kebekuan tanya yang tak
pernah terjawab. Segala ingatan kembali menyusuri lorong masa lalu saat mereka
sama-sama diam, tersendat kaku saat sesekali mata bertemu mata. Bagaimanapun
sekian tahun yang telah beku tak bisa cair oleh sekejap pertemuan tak
disengaja. Selengkung senyum,sedikit tawa, dan secuplik obrolan yang tercipta
diantara dua manusia yang beranjak dewasa ini hanyalah atas nama kesamaan
almamater belaka, terasa jelas sebagai basa-basi yang tawar. Kenapa harus
sekaku ini?
Untuk
problematika usang yang entah meninggalkan jejak atau hanya sekedar lewat, untuk sebuah permintaan dan pemberian maaf
agar cukup beralasan, untuk mencairkan kebekuan, mampukah gadis itu kembali
mengulang tanya dan mampukah lelaki itu menjelaskan jawaban usangnya?
Parahnya, gadis
dan lelaki yang telah dewasa itu sama-sama tidak tahu bagaimana cara
memulainya.
Tanjung, 18
November 2014