Tadi pagi, di sela-sela sarapan sebelum berangkat ke kantor, tidak sengaja tangan saya yang sedang memegang remote control menemukan channel salah satu tv swasta yang pada saat itu menayangkan sebuah acara dakwah islam. Biasanya setiap pagi sambil bersiap-siap pergi ke kantor, saya lebih memilih untuk menonton berita seputar indonesia atau gosip selebritis supaya tidak ketinggalan info mengenai apa-apa saja yang sedang menjadi perbincangan hangat masyarakat pada saat itu. Atau kalau sedang tidak ingin mendengarkan masalah-masalah di negeri yang memang sudah banyak masalah, saya lebih memilih mendengarkan musik kencang-kencang sambil bersiap-siap pergi ke kantor. Bagaimanapun musik bagi saya bisa jadi sejenis alat pemicu diproduksinya hormon-hormon peledak semangat untuk memulai hari.
Owkay, kembali ke laptop. Nah, apa yang terjadi pagi ini adalah saya mendengarkan acara dakwah, yang kebetulan pagi itu membicarakan tentang pernikahan, tepatnya bagaimana perilaku seorang istri kepada suaminya dan sebaliknya. Lantas kenapa pagi itu saya yang masih berstatus single ini merasa tertarik mendengarkan hal tersebut? Haha, Itu semacam gerak refleks dari saraf tak sadar :p
Well, mari kita merunut satu persatu. Pertama, orang bilang, adalah hal yang wajar apabila seseorang seusia saya, apa lagi sudah bekerja, untuk memikirkan tentang sebuah pernikahan. Saya sendiri, yang konon katanya sangat sangat sangat mencintai kebebasan pun menyadari urgensi akan hal tersebut.
Yang kedua. seringkali saya bertanya-tanya, am I really should be a wife someday? Do I really have to have my own family someday?
Well, sebenarnya "pernikahan" cukup sering menjadi topik utama dalam perbincangan di lingkungan sekitar saya, pernikahan yang dipahami sebagai suatu hal yang sewajarnya terjadi antara dua orang atas dasar kata sudah waktunya, atas dasar seyogyanya, atas dasar kalimat tanya "nunggu apa lagi?" atas dasar keinginan pihak keluarga, juga atas dasar aku dan dia yang merasa nyaman jika bisa terus bersama. Tapi jauh dalam simpul logika saya, muncul pertanyaan, bisakah saya membicarakan pernikahan bukan karena itu semua, melainkan karena saya sudah siap dengan segala kehidupan yang akan saya jalani setelahnya. However, marriage bukanlah sebuah finish line dari pertemuan cinderella dan pangeran yang akhirnya hidup bahagia selamanya seperti pada cerita dongeng klasik. And marriage is not only about love nor having sex in the every middle of the night, right? Dari sudut pandang orang yang belum menikah (red: saya), sepertinya marriage tidak cukup hanya dengan pemahaman sesimpel itu. Saya percaya bahwa marriage adalah garis start untuk memulai perjuangan mencapai kebahagiaan, dan kebahagiaan tentunya tidaklah dicapai dengan cara yang mudah, you need to struggle. Jadi jika ada pertanyaan, bisakah saya membicarakan pernikahan karena saya sudah siap dengan segala bentuk perjuangan lebih keras yang harus saya lalui setelahnya? saya sendiri sebenarnya tidak tahu kapan saya akan menjawab bisa.
Namun hal yang ajaib dari sebuah keputusan untuk menikah adalah... when someone propose to marry you, you will probably say yes eventhough you think you're not yet ready for that. Ah barangkali suatu hari nanti saya pun akan mengambil keputusan untuk menikah karena hal ajaib itu, dan jawaban yes itu terucap begitu saja, saat saya masih tidak sadar bahwa saya sebenarnya sudah siap. :p
Tulisan ini mulai ditulis bulan september-mati suri-diselesaikan malam ini.
00:18 AM
Tanjung, 31 Oktober 2015