Hari ini,
Yogyakarta pada pukul 16.30 gelap sekali, awan hitam menggantung dilangit sore.
Untuk besok masih memungkinkan, tapi untuk sore kali ini nyaris mustahil untuk sekedar berharap akan kedatangan senja
yang emas seperti biasanya. Hujan besar pasti akan datang, pikirku. Benar saja,
hujan deras plus angin ribut pun menghantam kota ini kemudian, dan parahnya lagi
listrik di kota inipun ikut padam, mencekam.
Duduklah aku
di kamar berkawan dengan kegelapan. Kunyalakan handphone yang rencananya akan
kurekrut menjadi kawan selanjutnya agar aku tidak bosan dalam dunia kegelapan,
kupandangi layarnya dengan animasi aneh yang tidak bisa diam, tidak ada apapun
yang menarik disana. Perlahan aku berdiri, dengan bumi yang terasa selalu
bergoyang dikepalaku sejak beberapa hari yang lalu, kuputuskan untuk keluar
kamar. Tak lama Nisa naik ke lantai atas kos membawa makanan dari India yang
dia dapat dari temannya, berkumpullah kami dikamar mba Fitri yang jaraknya
terpisah 2 kamar dari kamarku, ditemani sebatang lilin, ya sebatang lilin
dengan cahayanya yang memancarkan kehangatan.
Ada
tujuh orang yang berkumpul di kamar itu, masih dengan sebatang lilin, sebatang
lilin yang sudah cukup untuk membuat tujuh orang ini berkumpul dan merasa
nyaman. Kebanyakan dari kami takut dengan kegelapan, sampai beberapa orang
memutuskan untuk tidak kembali ke kamar, dan lilin itu sepertinya berjasa untuk
setidaknya menghapuskan ketakutan.
Listrik
pun tak lama hidup, semua berseru Alhamdulillah. Lilin putih belum padam, satu
persatu mulai meninggalkan perkumpulan yang sempat temaram. Akupun demikian,
kuputuskan untuk kembali ke kamar. Namun
langkahku terhenti tepat sebelum aku memutar kunci untuk membuka kamar, sayup-sayup
kudengar suara khas Nisa disana, “tiup lilinnya... tiup lilinnya...tiup
lilinnya sekarang juga, sekarang juga....” Lilin itu pasti sudah mati dalam
hembusan nafas nisa, pikirku.
Padamnya lilin
menyalakan memoryku di masa lalu, masa dimana aku kecil senang sekali mendekati
lilin lalu memain-mainkan lelehannya ataupun menggoda api yang meliuk-liuk
diterpa angin dengan cara meniup-niupnya hingga kadang hampir mati oleh
karbondioksida yang kukeluarkan. Entahlah, tapi aku senang menunggu nyala lampu
dengan cara semacam itu.
Dalam gelap,
terdengar suara sebatang korek tengah beradu dengan suatu zat di bagian pinggir
kotak pembungkusnya. Cheezzzz... api menyala dalam gelap, usianya diperpanjang
ketika dipindahkan ke sumbu sebatang lilin. Satu sumber cahaya kecil itu
kemudian bisa membuat semua orang yang ada disekitarnya untuk berkumpul, melupakan
segala aktivitas mereka sebelumnya sejenak seolah tidak ada pilihan lain selain
menjadi salah satu orang yang ikut menemani nyala lilin bersama yang lainnya.
Hangatnya cahaya lilin menjadi pemancing obrolan hangat yang kemudian tercipta
disana, semua orang membicarakan banyak hal, baik hal ringan maupun hal
kompleks, membagi cerita yang belum tentu akan terbagi jika lilin itu tidak menyatukan
mereka disana. Setidaknya hal-hal semacam itulah yang terjadi ketika listrik
mengharuskan kita untuk berkawan sementara dengan kegelapan. Kegelapan seakan
enggan beranjak bahkan ketika malam semakin larut bersama anginnya yang
menyentuh kulit, tetapi menjadi tidak berarti karena obrolan di saat seperti
itu bisa jadi lebih dari sekedar cukup untuk menghangatkan suasana. Dan lilin
putih telah menyala separuh jalan, separuh lagi usianya. Lelehannya yang
meluber kesana kemari menjadi bukti pengorbanannya.
“Emang
udah nasibnya kaya begitu kali, End...” kata Nisa pada malam harinya setelah
kukatakan padanya bahwa lilin itu ternyata memang malang, ia menyala dalam
gelap, cahaya temaramnya itu bisa membuat semua orang berkumpul menjadi lebih
dekat dan lebih akrab dengan obrolan-obrolan hangat, sebagian anak kecil seperti
aku kecil bahkan senang bermain-main dengan nyalanya. Bagaimanapun ia membuat penantian
akan nyalanya listrik bisa menjadi suatu hal yang lebih baik bahkan mungkin menyenangkan
dengan cara yang semacam ini.
Dan disana, sebatang lilin putih kecil tengah
berkorban membakar dirinya sendiri demi menjaga api kehangatan agar tetap
menyala ditengah orang-orang yang bahkan mungkin tidak sadar dengan dirinya
yang sebentar lagi akan habis dimakan gelap dan waktu.
Lilin
yang malang, mungkin memang beginilah caranya mengajarkan sebuah pengorbanan.
Jogja, 12 mei 2012