Laman


Senin, 28 Januari 2013

LILIN YANG MALANG



Hari ini, Yogyakarta pada pukul 16.30 gelap sekali, awan hitam menggantung dilangit sore. Untuk besok masih memungkinkan, tapi untuk sore kali ini nyaris mustahil  untuk sekedar berharap akan kedatangan senja yang emas seperti biasanya. Hujan besar pasti akan datang, pikirku. Benar saja, hujan deras plus angin ribut pun menghantam kota ini kemudian, dan parahnya lagi listrik di kota inipun ikut padam, mencekam. 

Duduklah aku di kamar berkawan dengan kegelapan. Kunyalakan handphone yang rencananya akan kurekrut menjadi kawan selanjutnya agar aku tidak bosan dalam dunia kegelapan, kupandangi layarnya dengan animasi aneh yang tidak bisa diam, tidak ada apapun yang menarik disana. Perlahan aku berdiri, dengan bumi yang terasa selalu bergoyang dikepalaku sejak beberapa hari yang lalu, kuputuskan untuk keluar kamar. Tak lama Nisa naik ke lantai atas kos membawa makanan dari India yang dia dapat dari temannya, berkumpullah kami dikamar mba Fitri yang jaraknya terpisah 2 kamar dari kamarku, ditemani sebatang lilin, ya sebatang lilin dengan cahayanya yang memancarkan kehangatan. 

                Ada tujuh orang yang berkumpul di kamar itu, masih dengan sebatang lilin, sebatang lilin yang sudah cukup untuk membuat tujuh orang ini berkumpul dan merasa nyaman. Kebanyakan dari kami takut dengan kegelapan, sampai beberapa orang memutuskan untuk tidak kembali ke kamar, dan lilin itu sepertinya berjasa untuk setidaknya menghapuskan ketakutan.

                Listrik pun tak lama hidup, semua berseru Alhamdulillah. Lilin putih belum padam, satu persatu mulai meninggalkan perkumpulan yang sempat temaram. Akupun demikian, kuputuskan untuk kembali ke kamar.  Namun langkahku terhenti tepat sebelum aku memutar kunci untuk membuka kamar, sayup-sayup kudengar suara khas Nisa disana, “tiup lilinnya... tiup lilinnya...tiup lilinnya sekarang juga, sekarang juga....” Lilin itu pasti sudah mati dalam hembusan nafas nisa, pikirku.

Padamnya lilin menyalakan memoryku di masa lalu, masa dimana aku kecil senang sekali mendekati lilin lalu memain-mainkan lelehannya ataupun menggoda api yang meliuk-liuk diterpa angin dengan cara meniup-niupnya hingga kadang hampir mati oleh karbondioksida yang kukeluarkan. Entahlah, tapi aku senang menunggu nyala lampu dengan cara semacam itu.

Dalam gelap, terdengar suara sebatang korek tengah beradu dengan suatu zat di bagian pinggir kotak pembungkusnya. Cheezzzz... api menyala dalam gelap, usianya diperpanjang ketika dipindahkan ke sumbu sebatang lilin. Satu sumber cahaya kecil itu kemudian bisa membuat semua orang yang ada disekitarnya untuk berkumpul, melupakan segala aktivitas mereka sebelumnya sejenak seolah tidak ada pilihan lain selain menjadi salah satu orang yang ikut menemani nyala lilin bersama yang lainnya. Hangatnya cahaya lilin menjadi pemancing obrolan hangat yang kemudian tercipta disana, semua orang membicarakan banyak hal, baik hal ringan maupun hal kompleks, membagi cerita yang belum tentu akan terbagi jika lilin itu tidak menyatukan mereka disana. Setidaknya hal-hal semacam itulah yang terjadi ketika listrik mengharuskan kita untuk berkawan sementara dengan kegelapan. Kegelapan seakan enggan beranjak bahkan ketika malam semakin larut bersama anginnya yang menyentuh kulit, tetapi menjadi tidak berarti karena obrolan di saat seperti itu bisa jadi lebih dari sekedar cukup untuk menghangatkan suasana. Dan lilin putih telah menyala separuh jalan, separuh lagi usianya. Lelehannya yang meluber kesana kemari menjadi bukti pengorbanannya.

                “Emang udah nasibnya kaya begitu kali, End...” kata Nisa pada malam harinya setelah kukatakan padanya bahwa lilin itu ternyata memang malang, ia menyala dalam gelap, cahaya temaramnya itu bisa membuat semua orang berkumpul menjadi lebih dekat dan lebih akrab dengan obrolan-obrolan hangat, sebagian anak kecil seperti aku kecil bahkan senang bermain-main dengan nyalanya. Bagaimanapun ia membuat penantian akan nyalanya listrik bisa menjadi suatu hal yang lebih baik bahkan mungkin menyenangkan dengan cara yang semacam ini.

 Dan disana, sebatang lilin putih kecil tengah berkorban membakar dirinya sendiri demi menjaga api kehangatan agar tetap menyala ditengah orang-orang yang bahkan mungkin tidak sadar dengan dirinya yang sebentar lagi akan habis dimakan gelap dan waktu.

                Lilin yang malang, mungkin memang beginilah caranya mengajarkan sebuah pengorbanan.
Jogja, 12 mei 2012

0 komentar: